Nama Kursus | : | Pengantar Perjanjian Lama |
Nama Pelajaran | : | Budaya Perjanjian Lama |
Kode Pelajaran | : | PPL-R04b |
Referensi PPL-R04b diambil dari:
Judul Buku | : | Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama |
Judul Artikel | : | Hukum Dalam Masyarakat |
Penulis | : | William Dyrness |
Penerbit | : | Penerbit Gandum Mas, Malang, 1979 |
Halaman | : | 114 - 120 |
REFERENSI PELAJARAN 04b - TEMA-TEMA TEOLOGI PERJANJIAN LAMA
Keutamaan Perjanjian
Telah kita ketahui bahwa hukum Taurat sebagai pernyataan perjanjian merupakan dasar kehidupan masyarakat Israel. Sebagai pencerminan sifat Allah hukum Taurat harus membentuk kehidupan masyarakat menjadi wahana kehadiran Allah di dalam dunia. Inilah suatu cita-cita yang seeing ditinggalkan Israel, namun secara terus-menerus mempengaruhi cara hukum itu dimengerti dalam perjalanan sejarah Israel. Pada saat itu tanggung jawab untuk mengadili mempunyai arti yang jauh lebih luas daripada sekarang ini. Seperti dijelaskan oleh de Vaux, seorang hakim "lebih merupakan pembela keadilan ketimbang penghukum kejahatan. Ia adalah seorang wasit yang adil" (de Vaux, I, 157; lihat Ayub 9:33). Jadi, kedudukan hukum Taurat di dalam masyarakat senantiasa berada di pihak bangsa itu sebagai suatu keseluruhan, tidak sebagai hak istimewa segolongan tertentu saja.
Hukum secara khusus dipercayakan kepada para imam. Tetapi yang ditekankan adalah pengajaran hukum itu sehingga umat itu mengerti apa yang diinginkan Allah (Ulangan 33:10). Lalu ada orangorang tertentu yang dipercaya untuk "menghakimi", seperti misalnya Musa (Keluaran 18:16) dan Yosua (Ulangan 34:9) dalam sejarah Israel yang mula-mula. Kemudian hari terdapat orang-orang yang disebut hakim; Samuel merupakan contoh yang paling menonjol di antara mereka (I Samuel 7:15-17). Perhatikanlah bahwa dari hal Samuel dikatakan is memerintah sebagai hakim (ayat 15). Patut diperhatikan bahwa waktu Israel mempunyai seorang raja, raja itu tidak pernah dianggap sebagai seorang pemberi hukum. Juga tidak terdapat hukum yang berasal dari raja. Sesungguhnya raja pun berada di bawah hukum seperti seluruh rakyatnya (II Samuel 11-12), meskipun raja berfungsi sebagai semacam mahkamah agung dalam soal-soal hukum (II Samuel 15:2-6).
Bahwa hukum berfungsi secara lancar dalam konteks kehidupan sehari-hari terlihat dengan jelas dalam jabatan para tua-tua kota. Kelihatannya mereka dipercayakan tanggung jawab untuk mengadili perselisihan-perselisihan di antara rakyat (Ulangan 21:19) dan melaksanakan ketetapan-ketetapan hukum (Ulangan 19:12; 25:7-10). Kadang-kadang mereka diangkat secara resmi (II Tawarikh 19:4-11), tetapi biasanya mereka adalah anggota masyarakat yang lebih tua dan lebih dihormati. Para hakim ini menjelaskan bahwa titik pusat perjanjian adalah rumah tangga dan kehidupan sehari-hari; ketentuanketentuannya harus diwujudkan di dalam keluarga dan di antara sesamanya. Beberapa sarjana berpendapat bahwa dalam hubungan ini tumbuh semacam kecurigaan pada orang yang tinggal di pedalaman terhadap kota-kota yang memberikan kesempatan berkembang bagi gerakan kenabian.
Hukum Dalam Kitab Nabi-Nabi.
Dengan para nabi tercapailah suatu tingkat baru dalam pengertian mengenai kekudusan Allah dan arti hukum Taurat. Akan tetapi, mereka tidak berfungsi sebagai pembaharu hukum, melainkan lebih sebagai orang yang menyerang pelanggaranpelanggaran terhadap perjanjian kuno itu dan syarat-syaratnya yang sah. Dalam bahasan kita mengenai ibadah, kita akan bertanya apakah para nabi ingin meniadakan aspek-aspek seremonial hukum tersebut. Di sini paling tidak dapat dikatakan bahwa nabi-nabi itu mempunyai visi yang begitu luar biasa tentang kekudusan Allah serta tuntutantuntutannya sehingga, jika dibandingkan, upacara-upacara ibadah terlihat menjadi kurang penting. Sesungguhnya, tanpa disertai cara hidup yang penuh kebenaran, ibadah mereka dapat dinyatakan sebagai sesuatu yang keji (Yesaya 1 dan Amos 5:21-24). Jika hukum Taurat dipahami secara benar sebagai pencerminan penyerahan batin umat itu kepada Allah, maka para nabi sebenarnya hanya kembali kepada maksud sebenarnya dari perjanjian. Pada saat yang sama, visiun mereka tentang Allah dan maksud-maksud-Nya demikian nyata, hingga seluruh gagasan Taurat mulai mendapat segi pandangan yang baru. Hukum Taurat mengusahakan kerangka acuan yang lebih universal dan mendalam. Semuanya dapat dirangkum dalam kalimat Nabi Mikha, "berlaku adil, mencintai kesetiaan" (Mikha 6:8). Tetapi untuk ini dibutuhkan perubahan yang begitu radikal sehingga mencapai dasar hati. Tepat seperti apa yang dikatakan Yehezkiel, umat Allah memerlukan hati yang taat ketimbang hati yang keras (Yehezkiel 36:26-27). Yeremia menjelaskannya sebagai perjanjian baru. Pada saat itu hukum akan dituliskan dalarn bati mereka (Yeremia 31:31-34). Jadi, dalam Perjanjian Lama sudah terasa gerak hati, bukan untuk menyingkirkan hukum, melainkan meneguhkannya dalam cara yang lebih dalam daripada yang dapat diperkirakan Israel.
Perkembangan Setelah Masa Pembuangan.
Kalau kita mengakhiri diskusi kita mengenai hukum Taurat pada titik ini, akan terasa sulit untuk memahami perlawanan Perjanjian Baru terhadap cara berpikir Yahudi mengenai hukum Taurat itu. Kristus mengeluh terhadap orang Farisi, "Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri!" (Markus 7:9). Apa sajakah adat istiadat ini?
Selama masa pembuangan, perubahan-perubahan yang sangat penting telah terjadi dalam kehidupan Israel. Semua lembaga yang mendukung hukum Taurat telah musnah-raja, bait Allah dan pelayanan ibadah para imam yang dilakukan secara teratur. Karena hukum yang tertulis itu merupakan peninggalan penting yang masih menghubungkan mereka dengan masa lalu, maka mereka mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Pada masa itu' perhimpunan orang-orang yang mempelajari hukum Taurat merupakan hal yang biasa (Yehezkiel 33:30-33). Perhimpunan-perhimpunan ini yang bakal menjadi lembaga sinagog. Membaca dan mempelajari Taurat menggantikan upacaraupacara korban dalam bait suci.
Setelah masa pembuangan, hukum Taurat tetap mendapat tempat terutama dalam kehidupan masyarakat. Kita telah melihat bahwa perjanjian yang diakui Israel di hadapan Ezra adalah "sumpah kutuk untuk hidup menurut hukum Allah yang diberikan dengan perantaraan Musa, hamba Allah itu" (Nehemia 10:29). Karena mereka memandang musibah nasional yang menimpa bangsa mereka sebagai hukuman Allah atas kegagalan mereka menaati hukum Taurat tersebut, maka mereka memutuskan bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi. Mereka masih mengerti tentang hukum itu dalam hubungannya dengan urusan Allah dengan para leluhur (Nehemia 9) dan sebagai pernyataan perjanjian yang dibuat Allah dengan mereka, tetapi kesadaran untuk memenuhi kewajiban kepada hukum dan syarat-syaratnya, cenderung mengalahkan semua hal lain yang berkenaan dengan keagamaan.
Lagi pula, sebagai akibat dari penelaahan dan perenungan mereka, timbullah hukum lisan yang menjadi sama-sama berwewenang dengan hukum yang tertulis. Penyebabnya sederhana saja. Di satu pihak, karena kedudukan utama hukum Taurat dalarn Yudaisme pada masa sesudah pembuangan maka sangatlah penting untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran hukum. Pada saat yang sama, hukum yang tertulis tak mungkin dapat merangkum semua keadaan yang disebabkan pernerintahan bangsa Persia dan Roma. Karena demikian timbullah kecenderungan untuk menafsirkan hukum Taurat dan menyesuaikannya pada keadaan-keadaan waktu itu. Walaupun mereka selalu berusaha untuk mendirikan tradisi ini dalam Alkitab (sesungguhnya Alkitab sendiri meramalkan perlunya penyesuaian seperti itu-Ulangan 17:8-26:19), ternyata wewenangnya menyaingi wewenang Alkitab itu sendiri.
Yang terpenting adalah sikap•terhadap hukum ini. Hukum lisan ini dianggap sebagai titik pusat dalam kehidupan seseorang. Ketaatan kepada hukum Taurat adalah cara mendapatkan perkenanan dari Allah. Walau bahaya legalisnie senantiasa ada, kita harus juga ingat bahwa bagi banyak orang hal menaati hukum merupakan kesenangan; orang percaya menemukan sukacita besar dalam menaati tuntutantuntutannya. Lagi pula, ketaatan kepada hukum harus disertai dengan maksud-maksud yang suci (IBD, III, 94). Pandangan ini yang dinamai "nomisme"-yaitu, menjadikan hukum pusat dan inti kehidupan seseorang-menjadi latar belakang untuk memahami kritik-kritik
Kristus terhadap orang Farisi dan rujukan-rujukan Rasul Paulus mengenai hukum. Tradisi mereka itu sendiri tidak salah, tetapi menun= jukkan segi pandangan yang salah. Apabila hukum Taurat menjadi alat untuk memelihara hubungan dengan Allah, maka mudah sekali melupakan bahwa janji Allah itu adalah dasar pengharapan kita. Dengan cara ini orang-orang Farisi cenderung menyatakan firm an Allah "tidak berlaku" demi adat istiadat mereka (Markus 7:13).
Sifat Hukum Taurat
Jangkauan yang Luas.
Hukum Taurat meliputi banyak hal dalam jangkauannya. Pengertian yang tepat tentang hukum Taurat menyebabkan kita mengerti bahwa seluruh kehidupan berada dalam kontrol kehendak Allah, apakah seseorang sedang bangun pagi, duduk untuk makan, berjalan-jalan atau pergi tidur. Apakah mengenai kehidupan dalam segi pemerintahan atau ibadah, dalam usaha atau dalam rumah, tidak ada yang terletak di luar bidang hukum. Karena seluruh kehidupan terbuka di hadapan Allah, maka terdapatlah kaitan yang tersembunyi antara hukum yang berlaku dalam pemerintahan dan yang ada sangkut-pautnya dengan ibadah. Eichrodt menjelaskan bahwa "terdapat pengertian perihal pengaturan total kehidupan manusia sebagai suatu penyingkapan kehendak-Allah yang bersifat menyelamatkan" (Eichrodt, I, 92).
Berdasarkan perkataan tersebut di atas, perlu sekali ditekankan bahwa hukum sebab-akibat tidak nampak. Yaitu, tak ada usaha untuk menganjurkan hukum bagi setiap peristiwa yang dapat dipikirkan. Prinsip-prinsip dasar diberikan dan dijelaskan; penerapannya terserah pada "rasa keadilan yang sehat", seperti disebut oleh Eichrodt (Eichrodt, I, 77). Kita telah lihat di atas bahwa hukum yang bersifat negatif lebih sering diberikan daripada yang bersifat positif. Jadi, tujuannya adalah menghindari kesalahan-kesalahan, sehingga tercipta kebebasan untuk mengejar suatu kehidupan yang berkelimpahan. Semuanya ini dirangkum dalam pernyataan Perjanjian Lama tentang "jalan". Taat kepada hukum adalah suatu cara hidup, suatu cara berjalan pada jalan yang benar (Mazmur 1). Tujuannya adalah berjalan dan hidup bersama Allah, karena untuk itulah manusia diciptakan (Yesaya 2:3).
Imbauan yang Bersifat Pribadi.
Walaupun jangkauan hukum itu luas, imbauannya bersifat pribadi juga. Pertama-tama, ini berarti bahwa Taurat dikemukakan berdasarkan apa yang telah diperbuat Allah untuk Israel. Terminologinya bukan penjelasan hukum, melainkan imbauan yang .bersifat pribadi. Sering kali hukum-hukum itu disertai anak kalimat yang memberikan satu alasan yang membenarkan (Keluaran 22:21; 20:5 dan Ulangan 22:24). Terutama sekali, mereka harus ingat siapa yang telah memanggil mereka dan perbuatan-perbuatan besar yang telah diperbuat-Nya bagi mereka. Mereka harus ingat (sebuah kata yang penting dalam Perjanjian Lama) dan mematuhi katakata ini, karena "Akulah Allahmu dan kamulah umat-Ku" (lihat Ulangan 10:16-22).
Jadi, alasan yang paling kuat untuk taat kepada hukum haruslah hati yang tergugah, suatu keputusan batin dan moral yang pribadi. "Pilihlah pada hari ini," Yosua mendorong bangsa Israel di Sikhem (Yosua 24:15). Paksaan dari luar melulu tidak akan pernah cukup, juga bukan ini merupakan maksud Allah. Seperti yang diterangkan oleh Kristus dalam Perjanjian Baru, seluruh hukum Taurat dapat diringkaskan dalam hal mengasihi Allah (Ulangan 6:5 dan Matius 22:37), dan kalau sampai mengungkapkan apa yang diperlukan dari masing-masing orang dalam masyarakat, maka seluruh hukum Taurat dapat diringkas menjadi "kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri" (Imamat 19:18). Janji pribadi kepada Tuhan seperti ini menolong menempatkan hukum Taurat dalam perspektifnya yang benar. Belajar ilmu hukum di luar konteks kelima kitab Musa akan membuat orang tidak dapat memahami kesaksian Daud bahwa Taurat itu "lebih indah daripada emas" dan "lebih manis daripada madu, bahkan daripada madu tetesan dari sarang lebah" (Mazmur 19:11).
Kekuatan Mutlak.
Hukum Taurat juga bersifat mutlak dalam kekuatannya. Karena didasarkan atas kekudusan Allah, maka hukum ini menuntut kesempurnaan pada pihak umat-Nya (Imamat 11:44). Jadi, setiap orang yang tidak terus menaati seluruh perkataan hukum Taurat dikutuk (Ulangan 27:26). Apabila Israel melawan hukum Taurat maka tak dapat tidak mereka akan mendatangkan murka dan penghukuman Allah ke atas diri mereka (Ulangan 31:16). Tuhan telah menyadari bahwa mereka tidak akan menaati hukum Taurat itu dengan sepenuhnya. Tetapi seperti yang akan kita lihat dalam bab berikut ini, hal ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Kemurahan Allah tidak berarti bahwa la akan membiarkan dosa. Sebaliknya, la menyediakan ketentuan-ketentuan yang memungkinkan penebusan bagi orang berdosa. Bahkan dalam menindak pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum, hukum Taurat itu sendiri harus dibiarkan _utuh. Dengan demikian Kristus sendiri, sebagai pemberi hukum terbesar, dapat berkata bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan hukum, melainkan untuk menggenapinya (Matius 5:17).
Penerapan Universal.
Akhirnya, kita harus mengerti bahwa hukum Taurat berlaku untuk umum. Pada mulanya ini berarti bahwa hukum itu berlaku untuk seluruh Israel tanpa mempedulikan status sosial atau politik masing-masing. Memang benar bahwa hukum Taurat bangsa Israel merupakan sesuatu yang unik di antara sekalian bangsa di bumi, tetapi hal itu bukan karena kaitannya terbatas pada bangsa Israel itu sendiri, melainkan karena sesungguhnya tak ada bangsa lain yang mengenal hukum yang serupa.
Sejak permulaan, hukum Taurat bergerak melampaui batas-batas nasionalnya, seperti yang tampak jelas dalam kasus Rut. Hukum Taurat dengan mudah diperluas kepada tamu dan orang asing. Bahkan musuh seseorang pun mempunyai beberapa hak tertentu di bawah hukum Taurat. ""Apabila engkau melihat lembu musuhmu atau keledainya yang sesat, maka segeralah kaukembalikan binatang itu. Apabila engkau melihat rebah keledai musuhmu karena berat bebannya, maka janganlah engkau enggan menolongnya, dengan membongkar muatan keledainya" (Keluaran 23:4-5 dan lihat Amsal 25:21).
Israel tidak selalu setia dalam peranannya sebagai terang dan berkat bagi semua bangsa. Tetapi keberadaan bangsa itu dan perjanjian yang mendasarinya berbicara mengenai hari itu ketika semua orang, dari yang paling hina hingga yang paling mulia, akan mengenal Tuhan. Pada hari itu semua bangsa akan naik ke gunung Tuhan untuk belajar tentang jalan-jalan Tuhan (Yesaya 2:2-4). Sebagai wahana visiun itulah Israel "menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa, untuk membuka mata yang buta, untuk mengeluarkan orang hukuman dari tempat tahanan" (Yesaya 42:6-7). Untuk memainkan peranan yang demikian diperlukan seorang yang lebih besar daripada Musa, yaitu Tuhan Yesus, yang dalam khotbah pertamanya mengutip Yesaya (61:1-2) dan berkata bahwa memberikan penglihatan kepada orang buta dan pembebasan bagi orang tawanan telah digenapkan pada hari itu sewaktu mereka mendengarnya (Lukas 4:18-21). Ialah yang menjadi perantara perjanjian baru yang diramalkan Yeremia, di mana hukum akan dituliskan dalam hati orang-orang, dan ketegangan yang terjadi antara perbuatan lahiriah dan maksud batiniah akhirnya dapat diatasi (Yeremia 31:31-34).