Nama Kursus | : | SEPULUH HUKUM ALLAH UNTUK KEHIDUPAN MANUSIA (SHA) |
Nama Pelajaran | : | Hukum Kedelapan, Kesembilan dan Kesepuluh |
Kode Pelajaran | : | SHA-R05a |
Referensi SHA-R05a diambil dari:
Judul Buku | : | Pemahaman Alkitab Setiap Hari; Matius Ps. 1-10 |
Judul Artikel | : | Perkataan yang Dapat Diandalkan dan Dipercaya |
Pengarang | : | William Barclay |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1995 |
Halaman | : | 266 - 273 |
REFERENSI PELAJARAN 05a - PERKATAAN YANG DAPAT DIANDALKAN DAN DIPERCAYA
Salah satu hal aneh yang terdapat dalam Kotbah Di Bukit ialah adanya beberapa kesempatan di mana Yesus mengingatkan orang-orang Yahudi terhadap beberapa hal yang mereka telah tahu. Para guru Yahudi telah selalu menekankan pentingnya kewajiban utama, yaitu mengatakan kebenaran. "Dunia ini berdiri teguh di atas tiga hal, yaitu keadilan, kebenaran dan damai." "Empat macam orang yang pasti akan tersingkir dari hadirat Allah, yaitu pengejek, munafik, penipu dan pemfitnah." "Orang yang plintat-plintut sama jahatnya dengan penyembah berhala." Para pengikut mazab Shammai bersikap begitu taat dan keras kepada kebenaran, sehingga mereka melarang adanya sopan-santun dan basabasi sosial, seperti umpamanya, memuji-muji kecantikan wajah pengantin wanita padahal sebenarnya hanya biasa saja, atau mengatakan bahwa makanan ini lezat padahal sebenarnya biasa saja.
Para guru Yahudi tersebut akan lebih lagi menekankan kebenaran tersebut apabila kebenaran itu dijamin dan dikukuhkan dengan sumpah. Perjanjian Baru berulang kali menyatakan hal ini. Alkitab pun menyatakan: "Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan." (Kel 20:7). Perintah ini tidak ada hubungannya dengan sumpah dalam arti pemakaian bahasa yang jelek. Perintah itu bermaksud untuk mengutuk setiap orang yang menyampaikan sumpah atau janji dalam nama Allah, bahwa sesuatu itu benar, tetapi sumpahnya itu sebenarnya palsu. "Apabila seorang laki-laki bernazar atau bersumpah kepada TUHAN, sehingga ia mengikat dirinya kepada suatu janji, maka janganlah ia melanggar perkataannya itu" (Bil 30:2). "Apabila engkau bernazar kepada TUHAN, Allahmu, janganlah engkau menunda-nunda memenuhinya, sebab tentulah TUHAN, Allahmu, akan menuntutnya dari padamu, sehingga hal itu menjadi dosa bagimu" (UI 23:21).
Tetapi pada zaman Yesus ada dua hal yang tidak memuaskan mengenai sumpah itu.
Yang pertama adalah yang kita sebut sumpah percuma, yaitu suatu pernyataan sumpah yang sebenarnya tidak perlu dan tidak pada tempatnya. Pada waktu itu orang sudah merasa biasa untuk memulai ucapan-ucapannya dengan mengatakan: "Demi hidup" atau "Demi kepalaku" atau "Biarlah aku tak melihat kejayaan Israel lags, jika ...." Para rabi Yahudi menandaskan, bahwa mereka yang mengucapkan sumpah serapah adalah berdosa dan salah. Mereka mengatakan: "Ya dari orang benar adalah ya, dan tidak mereka adalah tidak."
Ada satu peringatan penting di sini. Banyak orang yang terlalu sering memakai kata-kata atau bahasa yang suci secara ngawur dan tanpa makna. Mereka menyebut nama-nama yang suci dengan bibir mereka dengan cara yang tidak hormat dan tanpa pikir. Nama-nama yang suci hendaklah tetap dipakai untuk hal-hal yang suci saja.
Yang kedua adalah kebiasaan Yahudi yang lebih buruk dari yang pertama tadi, yang boleh kita sebut sumpah pengelakan, atau sumpah suci tangan. Orang-orang Yahudi membagi sumpah ke dalam dua kelompok, yaitu sumpah yang mengikat dan sumpah yang tidak mengikat. Setiap sumpah yang memakai nama Allah adalah sumpah yang mengikat secara mutlak. Dan setiap sumpah yang diucapkan tanpa nama Allah masuk dalam kelompok sumpah yang tidak mengikat. Konsekwensinya ialah, bahwa setiap orang yang bersumpah dengan nama Allah dalam bentuk dan ucapan yang bagaimana pun, ia harus secara mutlak menepatinya. Tetapi kalau ia bersumpah demi langit, bumi, Yerusalem, atau kepalanya sendiri, ia boleh merasa bebas untuk melanggarnya. Akibat dari semuanya ini ialah bahwa sumpah-sumpah pengelakan atau sumpah-sumpah yang dilakukan tanpa nama Allah berhamburan, dan semua orang berusaha untuk cuci-tangan dari kewajiban dan tanggung-jawabnya.
Di balik sumpah itu terdapat satu hal yang penting. Jika nama Allah dipakai, maka Allah menjadi pihak yang terlibat di dalam sumpah itu. Sedangkan kalau nama Allah tidak dipakai, maka Allah tidak mempunyai sangkut-paut dengan ikatan yang ada. Soal pokok yang hendak disampaikan oleh Yesus sangatlah jelas. Yesus hendak mengatakan, bahwa meskipun ada usaha manusia untuk tidak melibatkan Allah di dalam ikatan sumpah itu, sebenarnya tidak ada seorang pun yang dapat menyingkirkan Allah dari dalam ikatan itu. Allah selalu ada di sana. Langit adalah takhta-Nya; bumi adalah alas kaki-Nya. Yerusalem adalah kota Allah; kepala manusia bukanlah milik manusia itu sendiri; tak ada sesuatu pun di dunia ini yang bukan milik Allah. Dan karena itu, tidaklah jadi soal, apakah nama Allah disebut dengan kata atau tidak, sebab Allah sendiri telah berada di sana.
Selanjutnya Yesus memberitahukan kebenaran kekal yang besar. Hidup ini tidak bisa dibagi-bagi ke dalam beberapa bagian, di mana Allah terlibat dan di mana Allah tidak terlibat. Orang tidak bisa membagi hidupnya, lalu mengatakan, bahwa di bagian ini Allah terlibat, sedang di bagian lain Allah tidak terlibat. Orang tidak bisa mengatakan, bahwa di Gereja berlaku bahasa yang satu, sedangkan di pelabuhan, kantor dan pabrik berlaku bahasa yang lain. Kita juga tidak bisa mengatakan, bahwa di Gereja berlaku norma tingkah-laku yang satu, sedangkan di dunia perdagangan berlaku norma yang lain. Kenyataan yang benar ialah, bahwa Allah tidak butuh kita undang untuk masuk ke dalam bagian-bagian tertentu dari hidup kita, serta kita keluarkan dari bagian-bagian hidup kita yang' lainnya. Allah berada di mana-mana, di sepanjang hidup dan kegiatan kita sepanjang waktu. Ia ada di mana saja menurut kehendak-Nya sendiri. la tidak hanya mendengar kata-kata yang diucapkan dengan nama-Nya. Ia mendengar semua perkataan yang kita ucapkan. Dan tidak ada ucapan sumpah dan yang semacamnya, yang bisa mengelakkan keterlibatan Allah di dalam ikatan yang terbentuk, meskipun nama-Nya tidak disebutkan. Oleh karena itu kita perlu menganggap semua sumpah atau janji sebagai sesuatu yang suci, apalagi kalau kita ingat bahwa sumpah atau janji itu kita lakukan di hadirat Allah.
AKHIR DARI SUMPAH ATAU JANJI Matius 5:33-37
Perikop kita diakhiri dengan perintah agar apabila seseorang mengatakan "ya" maka ia harus mengatakan "ya", dan tidak lebih dari itu. Demikian pula apabila ia harus mengatakan "tidak" maka ia harus mengatakan "tidak", dan tidak lebih dari itu.
Makna yang hendak diungkapkan adalah bahwa setiap orang tidak usah lagi memerlukan sumpah atau janji untuk menopang atau menjamin kebenaran dari segala sesuatu yang diucapkannya. Jaminan dan saksinya haruslah terletak pada dirinya sendiri. Seorang guru dan ahli pidato Yunani yang besar, yang bernama Isokrates, mengatakan: "Orang harus berusaha menjalani kehidupan yang lebih banyak mendatangkan kepercayaan pada dirinya sendiri, ketimbang kepercayaan yang diperolehnya dengan sumpah." Clement dari Alexandria juga menekankan, agar orang-orang Kristen menghayati dan mnenjalani hidup serta menampakkan sifat-sifat kristianinya sedemikian rupa, sehingga orang lain tidak perlu minta sumpahnya untuk mempercayainya. Masyarakat yang kita cita-citakan ialah masyarakat, di mana kebenaran perkataan setiap warganya dapat dipercaya, dan janji setiap orang benar-benar dipenuhi tanpa jaminan sumpah.
Apakah perkataan Yesus itu kemudian berarti larangan bagi kita untuk mengucapkan sumpah, seperti umpamanya di ruang pengadilan? Ada dua kelompok orang yang dengan tegas menolak mengucapkan sumpah. Kelompok pertama adalah orang-orang Esseni, yaitu anggota salah satu sekte agama Yahudi kuno. Mengenai mereka itu Yosephus pernah menulis: "mereka sangat menonjol dalam hal saling mempercayai, dan mereka adalah pelayan-pelayan perdamaian. Segala yang mereka katakan dapat dipercaya melebihi sebuah sumpah atau janji. Mereka tidak pernah melakukan sumpah. Sumpah mereka anggap lebih buruk dari perkataan palsu. Karena mereka mengatakan, bahwa orang yang tak dapat dipercaya tanpa sumpah adalah orang yang sudah terkutuk."
Kelompok kedua yang sekarang masih ada dalam jumlah yang besar, terutama di Inggris, adalah kelompok Quakers atau kelompok Persekutuan Persaudaraan. Dalam keadaan yang bagaimanapun orang-orang Quakers itu tidak akan pernah mengangkat sumpah. Paling jauh, atau maksimal, yang akan dilakukan oleh George Fox, pemimpin Quakers, adalah memakai kata "Sesungguhnya". Ia menulis: "Saya tidak pernah menyebabkan orang lain berbuat salah selama saya bekerja. Selama saya melakukan pekerjaan saya, saya hanya memakai kata "Sesungguhnya". Dan waktu itu muncul ungkapan yang mengatakan: "Kalau George Fox mengatakan 'Sesungguhnya', maka tak ada seorang pun yang meragukannya."
Pada zaman dahulu kelompok Essenilah yang tidak mengangkat sumpah, maka pada zaman kini kelompok Quakers.
Benarkah garis pikiran yang mereka ambil dalam hat ini? Kalau kita lihat di dalam Alkitab, kita temukan, bahwa dalam beberapa kesempatan dan kejadian Paulus sendiri melakukan sumpah itu. Dalam suratnya ke Jemaah Korintus ia menulis: "Tetapi aku memanggil Allah sebagai saksiku . . . bahwa sebabnya aku tidak datang ke Korintus ialah untuk menyayangkan kamu" (2 Kor 1:23). Juga dalam suratnya ke Jemaah Galatia dia menulis: "Di hadapan Allah kutegaskan: apa yang kutulis kepadamu ini benar, aku tidak berdusta" (Gal 1:20). Dengan tulisannya yang demikian itu maka Paulus sudah mengangkat sumpah. Yesus sendiri tidak menolak ketika diri-Nya diminta untuk menyatakan sesuatu di atas sumpah. Ketika Yesus diadili, maka sang Imam Besar berkata kepada-Nya: "Demi Allah yang hidup, katakanlah kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak" (Mat 26:63). Jadi bagaimanakah jawaban terhadap pertanyaan kita di atas?
Untuk itu marilah kita lihat bagian akhir dari perikop yang kita pelajari ini (Mat 5:37). Di situ dikatakan agar orang mengatakan "ya" jika "ya" dan "tidak" jika "tidak". Lalu akhirnya dikatakan "Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat". Bagian akhir ayat ini bisa mengandung salah satu dari dua arti yang berikut.
Kalau memang dianggap perlu untuk mengambil sumpah dari seseorang, maka keperluan itu muncul dari adanya kejahatan di dalam diri manusia. Kalau di dalam diri manusia tidak ada yang jahat, maka sumpah pun tidak akan diperlukan. Dengan kata-kata lain, kenyataan bahwa kadang-kadang dirasa perlu untuk mengambil sumpah dari seseorang, menjadi bukti akan kejahatan hakekat manusia yang tanpa Kristus.
Kenyataan menyatakan bahwa di dalam hal-hal tertentu dirasa perlu untuk mengambil sumpah dari seseorang. Kenyataan itu muncul dari kenyataan lain, yaitu bahwa dunia ini adalah dunia yang jahat. Di dalam dunia yang sempurna, yaitu di dalam Kerajaan Allah, pengambilan sumpah itu sama sekali tidak diperlukan. Pengambilan sumpah itu diperlukan hanya karena kejahatan dunia ini.
Yang hendak dikatakan oleh Yesus sebenarnya adalah yang berikut: orang yang memang benar, tidak perlu mengangkat sumpah; kebenaran perkataannya dan pemenuhan janjinya tidak memerlukan jaminan seperti itu. Tetapi kenyataan bahwa sumpah kadang-kadang masih diperlukan menjadi bukti, bahwa manusia bukanlah manusia yang baik dan bahwa dunia ini bukan dunia yang baik.
Dengan demikian kita memperoleh dua macam kewajiban dari perkataan Yesus itu. Pertama, kita wajib berusaha agar orang lain melihat kebaikan kita sehingga mereka tidak perlu meminta kita mengangkat sumpah. Kedua, kita wajib berusaha dengan giat agar kepalsuan dan ketidak benaran di dunia berkurang-kurang sedemikian rupa. sehingga perlunya sumpah itu bisa dihapuskan.