Dua Sisi Pewahyuan
Jonathan Edwards pernah mengatakan bahwa seharusnya hal yang paling pasti adalah bahwa Allah, yang menciptakan dunia, semua manusia dan semua benda di dalamnya, akan menyatakan diri-Nya sendiri kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya dengan suatu cara sehingga mereka dapat mengerti-Nya. Edwards benar. Walaupun demikian, Immanuel Kant, dan para ateis agnotik saat ini, bersikeras bahwa seseorang tidak dapat mengenal Allah atau sesuatu yang lain yang eksis dalam dunia spiritual atau noumena; karena hal itu melampaui inderawi. Tentu saja jika Tuhan tidak menyatakan diri-Nya agama dan semua ajaran-Nya tidak akan mungkin mendapatkan pembenarannya. Manusia tidak pernah dapat menemukan Allah dengan pikirannya sendiri. Namun, Alkitab sangat tegas dalam mengajarkan bahwa Tuhan telah memberi wahyu kepada umat manusia, dalam dua bentuk. Seperti yang telah kita lihat, Allah telah memilih untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui wahyu umum dan wahyu khusus.
Wahyu Umum
Wahyu umum disebut begitu karena penerimanya (semua orang) dan pokok permasalahannya (teologi secara luas). Wahyu umum tidak datang dalam bentuk komunikasi verbal. Wahyu khusus dinamakan demikian karena lebih spesifik atau ketat dalam hal penerimanya (mereka yang membaca Alkitab) dan dalam hal isinya. Wahyu khusus tidak lebih besar daripada wahyu umum, tetapi wahyu khusus lebih akurat dalam detailnya.
Wahyu khusus disampaikan kepada manusia dalam Alkitab saja. Di lain sisi, wahyu umum disampaikan dan dimiliki sejak lahir. Wahyu umum disampaikan kepada semua manusia melalui alam (yakni dalam hal-hal yang diciptakan Allah). Sedangkan, wahyu umum merupakan pembawaan lahir dalam sensus Deitatis atau dalam pengertian akan eksistensi dan karakter Allah yang dimiliki semua manusia oleh natur mereka. Melalui kedua bentuk wahyu ini, kita memperoleh konfirmasi tentang sifat transendensi dan imanensi Allah.
Melalui sifat transenden, yang kita maksud ialah Tuhan di atas dan melampaui semua ciptaan-Nya. Dia berbeda secara kualitas dari semua benda yang diciptakan-Nya, dan tidak pernah dapat tercampur dengan ciptaan-Nya itu! Melalui sifat imanen, yang kita maksud ialah Allah selalu hadir di tengah ciptaan-Nya. Dia maha hadir; yaitu hadir di semua tempat pada setiap waktu. Wahyu umum secara khusus menunjukkan transendensi Allah, sedangkan wahyu khusus secara khusus menunjukkan imanensi Allah.
Dalam Roma 2:14, 15, Rasul Paulus mengajarkan doktrin tentang wahyu umum yang dibawa sejak lahir. Terdapat pengetahuan yang dibawa sejak lahir tentang Allah dalam setiap manusia. Semua manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26, 27) dan memiliki karya Hukum Taurat yang tertulis dalam hati mereka. Hal ini tidak dapat dihindari. Taurat Allah merupakan sebuah catatan mengenai karakter-Nya yang suci, merupakan bagian dan paket Tuhan sendiri (Imamat 20:7, 8). Maka, Taurat Allah juga merupakan suatu bagian dari pembawa gambar dan rupa-Nya, manusia. Taurat ini tidak sama seperti Taurat yang dituliskan secara permanen dalam hati setiap orang Kristen (Ibrani 8:10). Yang pertama, Taurat yang ada pada semua manusia(Roma 2:14,15), adalah suatu kesadaran moral/etis tentang kebaikan dan kejahatan, sesuai dengan Taurat, dan Taurat tersebut terdapat pada setiap pria, wanita, dan anak-anak. Yang belakangan, Taurat yang hanya ada pada hati orang Kristen (Ibrani 8:10), merupakan suatu karya dari kehadiran Roh Kudus, yang hadir hanya pada anak-anak Allah. Yang pertama, semata-mata bersifat moral dan tidak mencakup aspek seremoni (jalan keselamatan) hukum. Sedangkan, yang belakangan, sepenuhnya bermakna menyelamatkan dan melibatkan Roh Kudus yang berkuasa menjadikan orang percaya berjalan dalam ketaatan kepada Taurat. Wahyu yang terbawa sejak lahir dimiliki semua orang tanpa kecuali. Hal ini merupakan poin dari Yudas (ayat 10) waktu Dia mengklaim bahwa manusia mempunyai suatu naluri alami terhadap kebenaran Allah, tetapi menolaknya. Pengetahuan tersebut bersifat umum, tetapi pengetahuan yang benar (walaupun, tidak menyelamatkan). Calvin menegaskan bahwa terdapat suatu "pengertian tentang Tuhan" pada seluruh umat manusia, dengan cara demikian mereka mengakui fakta ini.
Wahyu umum menyampaikan apa yang disampaikan oleh Tuhan kepada semua umat manusia melalui alam. Alkitab mengajarkan bahwa Allah Tritunggal menciptakan semua benda (Kejadian 1) dan ciptaan-Nya menyatakan ketuhanan-Nya. Semua manusia mengetahui Allah yang benar melalui alam. Hal ini tidak mungkin dihindari. Semua orang, tanpa terkecuali. Inilah berita yang disampaikan Paulus dalam Roma 1 (ayat 18-21, lihat pula Mzm. 10:1-6). Tidak ada seorang pun yang dapat mengklaim bahwa Dia tidak mengetahui Allah. Manusia yang telah jatuh memilih untuk menyembah ciptaan daripada Sang Pencipta (ayat 22, dst.), tetapi hal itu tidak berarti bahwa mereka tidak mengetahui Allah. Di sini, kita berbicara tentang pengetahuan kognitif, bukan pengetahuan tentang Allah yang menyelamatkan (bdk. 1 Tesalonika 4:5; 2 Tesalonika 1:8; 1 Korintus 1:21). Namun, ini adalah pengetahuan yang benar. Ini merupakan kebenaran objektif yang secara subjektif diambil sendiri oleh seluruh umat manusia. Pengetahuan tentang Tuhan begitu jelas bagi manusia (ayat 19); pengetahuan itu jelas dirasakan (ayat 20). Manusia yang jatuh mempunyai kebenaran, tetapi menindasnya. Dia dengan sengaja menekan, atau mengurung, apa yang diketahuinya sebagai yang benar (ayat 18). Dengan kata lain, terdapat suatu perbedaan yang alkitabiah antara mengetahui Allah (ayat 21,32) dan mengakui Dia sebagai Allah (ayat 28). Bahkan setan pun tahu Allah yang benar (Yakobus 2:19), tetapi mereka tidak menaati kebenaran ini.
Sangat jelas bagi penulis masa ini bahwa wahyu Allah melalui alam "sampai kepada" umat manusia. Ide bahwa wahyu umum sampai pada orang tidak percaya ini disangkal oleh Karl Barth dan yang lainnya. Namun, hal ini tidak diragukan lagi merupakan pandangan Agustinus, Calvin, Edwards, Owen, Warfield, dan banyak yang lainnya dalam kubu teologi Reformed.
Calvin berbicara tentang banyak bukti dalam alam mengenai eksistensi Allah. Sesungguhnya, setiap kenyataan dari tatanan yang diciptakan membuktikan kebenaran dari Allah Tritunggal dalam Alkitab. James Boice dengan tepat mengatakan bahwa, "Terdapat cukup bukti tentang Allah dalam sekuntum bunga untuk memimpin seorang anak maupun seorang ilmuwan untuk menyembah Dia. Terdapat cukup bukti pada sebuah pohon, sebuah kerikil, sebutir pasir, sebuah sidik jari, untuk membuat kita memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya." Ketika seseorang mempelajari kimia, biologi, anthropologi, dll., Dia sedang mempelajari wahyu umum. Inilah sebabnya mengapa Agustinus dapat mengatakan, "belajarlah sebanyak yang Anda mampu mengenai sebanyak hal yang Anda bisa karena segala kebenaran adalah kebenaran Allah." Westminster Confession of Faith (dengan sewajarnya) melangkah begitu jauh mengenai klaim bahwa wahyu umum memberi pedoman yang pasti kepada manusia untuk menyembah Tuhan (XXI, 7).
Doktrin mengenai wahyu umum menyebabkan adanya "agama" bahkan di antara bangsa-bangsa kafir. Doktrin ini menjelaskan mengapa orang-orang tidak percaya menganggap diri mereka sebagai keturunan Tuhan (Kisah Para Rasul 17:28). Doktrin ini memberi keterangan tentang anugerah umum yang berupa iluminasi pada semua orang (Yohanes 1:9). Dan, doktrin tersebut menjelaskan mengapa manusia "umumnya" mencocokkan dirinya pada Taurat Allah (mereka mempunyai suatu kebencian alami terhadap pembunuhan, pencurian, dll.).
Doktrin ini juga mengajar kita bahwa tidak ada hal-hal seperti seorang individu yang tidak berdosa di suatu daerah terpencil yang tidak pernah mempunyai kesempatan untuk kembali kepada Allah. Menurut Paulus, semua manusia termasuk kategori mengenal Allah secara kognitif sehingga mereka tanpa alasan di hadapan Pencipta mereka (Roma 1:20,21). Bukan seolah-olah mereka bersalah karena menolak Kristus (sebagai Juru Selamat) yang tidak pernah mereka mendengar, tetapi lebih karena mereka menolak pengetahuan tentang Allah Tritunggal yang mereka miliki. Pengetahuan tersebut juga mencakup fakta bahwa kemarahan Tuhan ada atas mereka (ayat 18). Sang rasul mengatakan bahwa manusia bersalah dan mengetahui hal itu dan mereka tetap menolak satu-satunya sumber pertolongan mereka.
Sebagaimana wahyu umum cukup untuk menyatakan Allah kepada umat manusia, begitu pula wahyu umum juga tidak cukup dalam beberapa hal. Pertama, wahyu umum tidak pernah bermakna tanpa wahyu khusus, atau sebaliknya. Allah berbicara (wahyu khusus) kepada Adam sebelum kejatuhan (Kejadian 2:16, 17). Alam sendiri tidak dapat (dan tidak akan dapat) memberi kepada manusia suatu pengertian tentang apa yang Allah tuntut darinya. Demikian juga, doktrin Tritunggal tidak akan dapat ditemukan dalam wahyu umum, oleh atau dari dirinya sendiri. Bentuk pengetahuan ini harus melalui komunikasi verbal. Maka, wahyu umum tidak lengkap tanpa wahyu khusus. Namun, demikian pula sebaliknya: tanpa wahyu umum berupa pohon pengetahuan baik dan jahat, perintah untuk tidak makan darinya akan jadi tidak berarti. Terdapat suatu keharmonisan yang sempurna antara kedua bentuk wahyu Allah. Keduanya berjalan bersama-sama, dan saling tergantung satu sama lain.
Wahyu umum harus selalu dilihat melalui "kacamata" (Calvin) firman Allah . Yang umum harus dianalisa melalui yang khusus. Seperti yang sudah dilihat, wahyu khusus berbicara secara lebih teliti mengenai hal-hal yang kita jumpai di alam. Maka, semua sains, sejarah, dll., harus dianalisa melalui Alkitab. Wahyu umum dapat menolong kita dalam mempelajari wahyu khusus (misalnya, penemuan-penemuan sains dan arkeologi). Namun, yang pertama (wahyu umum) harus terlebih dahulu diuji oleh yang terakhir (wahyu khusus) untuk melihat apakah cocok dengan keseluruhan ajaran Alkitab. Harus dikatakan, seseorang harus tidak pernah berusaha menjadikan Alkitab tunduk pada penemuan-penemuan ilmiah, tetapi penemuan-penemuan sains harus dicocokkan dengan berita-berita verbal dari Alkitab yang lebih tepat. Ini tidak berarti bahwa wahyu khusus lebih akurat danpada wahyu umum, tetapi wahyu khusus lebih spesifik isinya dan menolong kita dalam melihat alam secara lebih tepat.
Analogi Calvin tentang Alkitab sebagai "kacamata" kita sangatlah tepat. Sejak peristiwa kejatuhannya, manusia mempunyai cahaya alam yang bersinar terang tentang Dia, tetapi dalam dosanya manusia memandang wahyu ini sebagai kekaburan. Karena itu perlu firman Allah untuk menjadikan gambaran tersebut menjadi terang. Ijinkan saya sekali lagi menekankan poin bahwa alam begitu jelas dalam penyataannya mengenai Tuhan. Tidak ada kesalahan dengan dunia ciptaan Allah. Kesalahan terdapat pada manusia. Seperti yang sudah kita lihat, gambar dan rupa Allah secara metafisik yang luas dalam manusia tidak hilang saat kejatuhan, tetapi rusak. Hal ini menyebabkan tatanan yang diciptakan agak kabur. Hanya Roh Allah, melalui firman yang diinspirasikan, dapat menjadikan gambaran tersebut jelas.
Kedua, wahyu umum tidak cukup dalam pengertian bahwa wahyu umum tidak mampu untuk menyatakan Allah sebagai Penyelamat/Penebus. Dalam dirinya sendiri, alam tidak dapat membawa manusia kepada pengetahuan yang menyelamatkan tentang Yesus Kristus. Alam menyatakan Allah sebagai Pencipta dan Hakim; hanya Alkitab yang menyampaikan Anak sebagai Juru Selamat. Maka semua manusia perlu untuk mendengar Injil agar diselamatkan (Roma 1:16, 17; 10:17). Tentu saja, manusia sebelum kejatuhan, walaupun Dia memerlukan komunikasi-komunikasi verbal dari Allah untuk memberitahu apa yang harus Dia lakukan, tetapi tidak memerlukan komunikassi untuk menyatakan sang Juru Selamat. Manusia setelah Kejatuhan sangat memerlukan wahyu yang terakhir ini. Pentingnya keterlibatan orang-orang Kristen dalam penggenapan Amanat Agung dari Matius 28:18-20 tidak dapat ditawar.
Wahyu Khusus
Seperti yang sudah dinyatakan, bagian kedua dari kedua macam wahyu Allah kepada manusia adalah wahyu khusus. Sepanjang sejarah pewahyuan dan penebusan yang bersifat progresif, Allah berbicara kepada umat-Nya melalui bermacam-macam cara (Ibrani 1:1-3), yang mana pewahyuan itu kemudian dituliskan untuk kita. Wahyu khusus ini sekarang ditemukan hanya dalam Alkitab saja. Wahyu khusus ini merupakan suatu bentuk komunikasi verbal.
Berbicara merupakan sifat Tuhan. Sebelum ada ciptaan apa pun, sudah ada suatu dialog kekal yang terjadi antara anggota-anggota Tritunggal (Mazmur 119:160; Amsal 8:22 dst.; Kejadian 1:26). Firman Allah adalah bagian dan unsur dari Allah sendiri. Allah dan firman-Nya tidak dapat dipisahkan. Kebenaran ini berlaku bagi setiap anggota dari Keberadaan Tritunggal.
Hal ini ditunjukkan kepada kita dalam Alkitab melalui berbagai cara. Sebagai contoh, Bapa yang berfirman (Ibrani 11:3); Anak adalah Firman yang berinkarnasi (Yohanes 1:1-3); dan Roh Kudus adalah Pribadi yang menulis firman Allah (2 Petrus 1:20, 21) dan menafsirkannya bagi orang percaya (1 Korintus 2:6-16). Roh Kudus menimbulkan keselamatan dan pengudusan bagi orang Kristen melalui penerapan Alkitab yang bersifat menyelamatkan di hati setiap individu (Yakobus 1:18, 21), kemudian membentuk hidupnya dalam kesesuaian dengan firman (2 Tesalonika 2:13, 14; 2Kor. 3:17, 18). Demikian juga, kita mengakui kuasa yang terdapat dalam firman Allah: kuasa yang berasal dari sumber ilahi. Dekrit Allah yang menentukan segala hal sejak kekekalan (Efesus 1:11). Firman Allah yang disabdakan menciptakan (ex-nihilo, "dari yang tidak ada") dunia dan segala sesuatu di dalamnya (Ibrani 11:3, Kolose 1:15-18). Dan, Firman Allah melalui providensia membawa segala sesuatu menuju akhir yang telah ditetapkan (Ibrani 1:3; Kolose 1:17; Mazmur 29).
Ketika kita berbicara tentang kenyataan bahwa Allah telah memilih untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui suatu bentuk verbal, kita terpaksa berhubungan dengan suatu bahasa anthropomorfis. Dengan kata lain, Allah berbicara kepada kita dalam bahasa manusia (Yunani: anthropos) karena kita adalah manusia dan bahasa manusia merupakan satu-satunya bahasa yang dapat kita pahami. Seperti yang ditegaskan Calvin, bahwa Tuhan harus membungkukkan diri untuk berkomunikasi dengan makhluk ciptaan-Nya. Ada sifat anthromorfis pada semua wahyu khusus. Maka, komunikasi verbal harus berbentuk bahasa "analogis". Ini adalah jalan tengah antara bahasa "univokal" dan "ekuivokal." Tidak satu pun dari kedua bahasa ini mungkin digunakan dalam wahyu alkitabiah. Dalam univokal suatu ungkapan digunakan hanya untuk satu arti. Dalam ekuivokal suatu ungkapan mempunyai arti yang berbeda sama sekali. Dalam bahasa analogis arti dari suatu ungkapan berbeda setara dengan keberadaan yang digambarkan. Sebagai contoh, jika kita hendak mengatakan bahwa Allah itu baik dan seorang manusia adalah baik, ungkapan "baik" digunakan dalam kedua kasus tersebut. Namun, arti dari kebaikan Allah dan kebaikan manusia harus dimengerti secara analogis, yakni kebaikan manusia tidak pernah dapat menyamai kebaikan Tuhan.
Jika Alkitab menggunakan bahasa univokal, tidak akan ada perbedaan antara Allah dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Pengetahuan yang identik mengenai suatu permasalahan akan terjadi dan secara tidak langsung mengakibatkan panteisme. Keberadaan Allah yang tidak terbatas akan dikacaukan dengan keberadaan manusia yang terbatas. Di lain pihak, jika bahasa ekuivokal digunakan, tidak akan ada kesamaan atau titik pemahaman sehingga menghasilkan skeptisisme. Hal ini akan meniadakan kemungkinan untuk mengetahui segala sesuatu tentang Tuhan yang telah memilih untuk menyatakan diri-Nya kepada kita. Maka, Alkitab ditulis dalam bentuk analogis untuk kita. Inilah satu-satunya kemungkinan dengan sifat antropofis dari wahyu khusus.
Namun, ini tidak berarti bahwa bahasa tersebut tidak dapat dimengerti. Jelas dapat. Terdapat suatu titik (univokal) di mana apa yang Allah ucapkan dimengerti oleh manusia walaupun terdapat perbedaan-perbedaan pada tingkat pemahaman Allah dengan tingkat pemahaman manusia, terdapat suatu titik temu. Suatu elemen univokal terdapat dalam pemahaman setiap ayat atau perikop. Sehingga ketika Allah menyatakan kepada manusia bahwa Daud adalah raja Israel, manusia tidak pernah dapat mengerti kepenuhan arti dan berita ini sebagaimana yang dimengerti oleh Tuhan. Namun, manusia memahaminya. Perbedaan dalam pemahaman lebih berperan daripada jenis pemahaman. Kesadaran akan sifat analogis wahyu khusus ini memungkinkan kita untuk membedakan antara Allah yang tidak terbatas dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang terbatas, sambil pada saat yang sama memberikan kepada kita suatu wahyu yang alkitabiah yang dapat dipahami.
Harus diperhatikan juga mengenai sifat pribadi dan wahyu khusus. Allah Alkitab mempunyai kepribadian, dan Dia menyatakan diri-Nya kepada manusia dalam wujud satu Pribadi. Pribadi-pribadi Tritunggal dalam keTuhanan (Bapa, Anak, dan Roh Kudus) mendatakan hal ini secara jelas. Sebagai tambahan, Dia adalah Imanuel, Allah beserta kita. Dia masuk dalam perjanjian secara pribadi dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Dia berbicara kepada kita melalui Alkitab secara proporsional, kebenaran-kebenaran universal, tetapi dengan cara sedemikian, Dia memanggil kita memasuki suatu relasi yang pribadi dengan-Nya di mana kita dapat bersama-sama dalam kemulian-Nya.
Diambil dari: | ||
Judul Buku | : | Verbum Dei (Alkitab: Firman Allah) |
Judul artikel | : | Dua Sisi Pewahyuan |
Penulis | : | W. Gary Crampton |
Penerbit | : | Momentum: Surabaya, 2004 |
Halaman | : | 31 - 40 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA