Mengapa Menikah? (Suatu Refleksi atas SPIK Keluarga 2019)

Pacaran dan pernikahan merupakan tema favorit dari suatu karya seni. Kita dapat menemukan tema ini dalam lagu, novel, sinetron, telenovela, drama Korea, dan film-film Hollywood. Banyak dari karya-karya seni ini yang menceritakan kehidupan pacaran dan pernikahan diwarnai dengan perselingkuhan, perzinahan, kebebasan seks, dan kebahagiaan yang tidak realistis. Konsep-konsep ini terus mengisi pikiran kita sehingga kita makin terbiasa bahkan menganggap konsep pacaran dan pernikahan yang dunia ini tawarkan sebagai sesuatu yang benar.

Hal yang paling celaka adalah ketika kita membawa konsep ini ke dalam kehidupan pacaran dan pernikahan kita. Karena itu, tidak heran banyak orang Kristen yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan, dan pernikahan orang Kristen dipenuhi dengan ketidakpuasan dan perselingkuhan yang berakhir dengan perceraian. Pacaran dan pernikahan yang kita jalani begitu jauh dari apa yang Allah rancangkan karena kebebalan hati kita yang mengabaikan firman-Nya, yang seharusnya menjadi dasar setiap aspek hidup kita, termasuk pacaran dan pernikahan.

Alkitab telah mengajarkan konsep mengenai pernikahan pada bagian-bagian awal, yaitu dalam kitab Kejadian. Allah adalah inisiator dan konseptor dari pernikahan. Allah yang mengatakan bahwa tidak baik jika manusia seorang diri sehingga menciptakan Hawa, mengantarkan Hawa kepada Adam, dan menyatukan mereka berdua. Allah juga yang menyatakan bahwa pria dan wanita yang ingin menikah harus meninggalkan ayah dan ibunya dan keduanya menjadi satu daging.

Pernikahan ibarat sebuah televisi. Televisi diciptakan bukan supaya orang yang menonton melihat televisi tersebut, tetapi untuk melihat apa yang direfleksikan oleh televisi, sesuatu yang lebih besar dan indah daripada televisi itu sendiri. Pernikahan adalah sarana yang Tuhan berikan untuk tujuan yang lebih mulia daripada pernikahan itu sendiri.

Pernikahan Bertujuan untuk Menghadirkan Kerajaan Allah

Kejadian 1:28 mencatat bahwa manusia diberi mandat oleh Allah untuk beranak cucu, bertambah banyak, dan memenuhi bumi. Pada waktu itu, manusia belum jatuh dalam dosa sehingga perintah ini berarti memenuhi bumi dengan manusia yang seharusnya, yaitu yang taat pada pemerintahan Allah untuk mengelola ciptaan sehingga Kerajaan Allah dapat dihadirkan di bumi. Namun saat ini, manusia sudah jatuh ke dalam dosa. Manusia terus beranak cucu dan bertambah banyak secara fisik tanpa mengerti kehendak Allah sehingga bumi penuh dengan manusia yang memberontak. Karena itu, pernikahan bertujuan menghasilkan gambar dan rupa Allah yang telah diperbarui. Ketaatan kepada kehendak Allah harus dimiliki oleh suami-istri dan diturunkan terus-menerus melalui pengajaran kepada anak-anak. Pernikahan harus menghasilkan keturunan yang taat sepenuhnya kepada Allah yang di kemudian hari akan dipakai untuk menghadirkan Kerajaan Allah di bumi, sebagaimana yang Tuhan perintahkan sebelum manusia jatuh dalam dosa.

Pernikahan Bertujuan untuk Menguduskan

Dalam mempersiapkan diri atau menjalani pernikahan, kita harus selalu mengingat bahwa kita dan pasangan kita adalah manusia berdosa. Penebusan Kristus telah melemahkan dosa sehingga ia tidak dapat menghasilkan buah kematian kekal bagi kita. Namun, dosa tetaplah dosa. Ia terus bersifat merusak dan menjauhkan kita dari menikmati dan memuliakan Allah. Kita masih harus terus berjuang untuk mematikan dosa serta menjalani proses pengudusan setiap hari, dan pernikahan adalah salah satu wadah yang baik yang Tuhan sediakan bagi kita. Dalam pernikahan, suami harus mengasihi istri seperti Kristus mengasihi jemaat-Nya dan istri harus tunduk kepada suami seperti gereja menaati Kristus. Keberdosaan menghalangi kita untuk menjalani kedua tugas ini dalam pernikahan. Dosa membuat kita menjadi begitu egois dan mementingkan diri sehingga sering kali menimbulkan perselisihan dan pertengkaran. Dalam pernikahan, kita belajar menyangkal diri, menaruh kepentingan diri kita di bawah kepentingan bersama (pasangan dan keluarga), serta belajar memikul salib, menanggung kekurangan pasangan kita, sambil terus mendoakan dan mendorong perubahan pengudusan, menjadi serupa dengan Kristus.

Pernikahan Bukan Sarana untuk Mengusir Kesepian

Kesepian adalah salah satu faktor utama yang mendorong seseorang untuk menikah. Kita sering berpikir bahwa setelah menikah, kesepian akan hilang. Namun, faktanya tidaklah demikian. Banyak suami dan istri bahkan yang telah bertahun-tahun menikah, tetap merasakan kesepian. Mengapa demikian? Karena pernikahan memang bukanlah alat untuk menghilangkan kesepian. Kesepian adalah akibat dari dosa yang menyebabkan manusia berpisah dari Allah. Manusia diciptakan untuk memperoleh seluruh kepenuhannya di dalam Allah sehingga hanya ketika kita kembali bersatu dengan Kristus, kesepian dapat diatasi. Hal ini penting untuk kita pahami sehingga kita tidak menuntut pasangan kita untuk mengusir kesepian kita, sesuatu yang tidak akan pernah dapat ia lakukan.

Pertanyaan yang lebih penting bukanlah, "Kapan menikah?" atau "Menikah dengan siapa?". Pertanyaan yang lebih penting adalah, "Mengapa menikah?". Mari tinggalkan cara pandang dunia tentang pernikahan yang begitu sempit dan egois. Mari perluas pandangan kita bahwa pernikahan adalah sarana membangun Kerajaan Allah, pengudusan diri, dan merefleksikan relasi Kristus dengan jemaat. Dengan memikirkan alasan inilah kita dapat berangkat kepada pertanyaan selanjutnya: dengan siapa saya menikah? Dengan pribadi seperti apa saya harus menikah supaya tujuan pernikahan sejati dapat digenapi? Dan, yang lebih penting: bagaimana saya harus mempersiapkan diri supaya saya pun menjadi pasangan yang tepat untuk menggenapi tujuan yang telah Allah tetapkan?

Marthin Rynaldo
Pemuda MRII Bogor

Diambil dari:
Nama situs : Buletin Pillar
Alamat situs : https://www.buletinpillar.org/kehidupan-kristen/mengapa-menikah-suatu-refleksi-atas-spik-keluarga-2019
Judul artikel : Mengapa Menikah? (Suatu Refleksi atas SPIK Keluarga 2019)
Penulis artikel : Marthin Rynaldo
Kategori: 
Taxonomy upgrade extras: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA