Bagaimana Pandangan Alkitab tentang Gaya Hidup Child Free?
Sejak beberapa dekade terakhir ini, istilah child free (selanjutnya disingkat CF) semakin akrab di kalangan generasi muda. Penganut gaya hidup CF bahkan semakin meningkat di Amerika dan Eropa. Beberapa riset bahkan menunjukkan peningkatan yang signifikan.
CF merujuk pada gaya hidup yang memilih menikah (atau berkumpul bersama), tetapi tanpa memiliki anak. Intinya adalah ketidakmauan, bukan ketidakmampuan. Penganut CF memilih untuk tidak memiliki anak. Mereka meyakini bahwa opsi ini merupakan hak dan kebebasan setiap orang.
Alasan di balik pilihan ini sangat beragam. Beberapa terkesan narsistik (ingin hidup nyaman tanpa direpotkan oleh urusan pengasuhan anak). Ada yang mempertimbangkan kelestarian bumi (penduduk bumi sudah terlalu banyak). Ada yang mengkhawatirkan pertumbuhan anak (dunia semakin jahat dan tidak aman). Beberapa ingin melayani proyek-proyek kemanusiaan secara lebih fokus dan bebas. Daftar alasan ini tentu saja masih bisa diperpanjang lagi.
Bagaimana orang-orang Kristen sebaiknya menyikapi gaya hidup ini?
Isu ini sebenarnya rumit. Ada beragam aspek yang terkait. Ada beragam poin yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, gaya hidup narsistik. Sebagian penentang CF langsung menyalahkan gaya hidup ini dengan alasan gaya hidup ini terlalu narsistik. Bagaimanapun, penilaian ini bisa terlalu subjektif. Mereka yang memiliki anak kadangkala juga dimotivasi oleh tujuan yang narsistik, misalnya supaya ada yang merawat mereka di masa tua. Sebaliknya, tidak semua penganut CF dimotivasi oleh alasan yang egosentris. Beberapa bahkan menganut gaya hidup ini justru untuk menjaga kelestarian alam dan supaya bisa berkontribusi maksimal bagi kemanusiaan.
Kedua, kebahagiaan hidup. Sebagian penentang CF biasanya menjadikan kemuliaan keibuan (dan kebapaan) serta kebahagiaan memiliki anak sebagai alasan untuk menyalahkan CF. Mereka menganggap hidup penganut gaya hidup CF tidak penuh atau kurang berbahagia. Alasan seperti ini terlihat kurang meyakinkan. Penganut CF merasa bahagia dengan pilihan mereka. Lagipula, jika anak dijadikan sumber kebahagiaan orang tua, bukankah itu menyiratkan semangat narsistik dalam diri orang tua?
Ketiga, moralitas CF. Para penganut CF menganggap tidak ada yang salah dengan gaya hidup ini. Apa yang dilakukan dinilai tidak merugikan siapapun. Bukankah setiap orang bebas menentukan hidupnya sendiri selama dia tidak merugikan atau membahayakan orang lain?
Dari tiga poin di atas, terlihat bahwa isu ini memang pelik. Kita tidak boleh terlalu menggampangkan persoalan ini. Para penentang CF juga perlu berhati-hati dan konsisten dalam menerapkan patokan mereka. Kesalahan yang sama bisa saja terjadi pada mereka.
Cara terbaik untuk menyikapi gaya hidup CF adalah dengan menemukan akar persoalan yang sebenarnya. Dalam artikel ini, kita akan mendiskusikan dua akar persoalan: filosofi moral dan perspektif teologis.
Dari sisi filosofi moral, sebagian penganut CF meyakini otonomi moral. Setiap orang bebas memutuskan apa yang terbaik menurut diri mereka sendiri. Selama sebuah keputusan membawa kebahagiaan pada diri sendiri dan tidak merugikan orang lain, keputusan ini tidak bermasalah.
Otonomi moral sudah menjadi persoalan sejak zaman Adam dan Hawa (Kej. 3). Kejatuhan manusia ke dalam dosa berhubungan dengan otonomi moral yang ditawarkan oleh Iblis (manusia menjadi seperti Allah yang membedakan apa yang baik dari apa yang jahat). Sejak saat itu manusia menjadi penentu moralitas, bahkan membanggakan pelanggaran mereka (Kej. 4:23-24).
Bagi orang-orang Kristen, standar moralitas adalah firman Allah. Firman Allah adalah kebenaran (Yoh. 17:17). Dalam terang Tuhan, kita menemukan terang yang sesungguhnya (Mzm. 36:10). Kitab Suci adalah penuntun kehidupan dan keselamatan (2Tim. 3:15-16).
Prinsip moral "yang penting tidak merugikan orang lain" kurang sesuai dengan logika empiris dan ajaran Alkitab. Tidak cukup bagi manusia hanya untuk tidak merugikan orang lain. Sebagai contoh, renungkanlah ilustrasi berikut ini. Seorang konglomerat yang berbisnis dengan jujur ingin menikmati seluruh penghasilannya dengan cara bersenang-senang semaunya sendiri. Dia tidak peduli dengan orang-orang miskin di sekitarnya. Jika dilihat dari prinsip "yang penting tidak merugikan orang lain", tindakan konglomerat ini jelas tidak bermasalah. Tidak ada pihak manapun yang dirugikan. Pertanyaannya, penilaian seperti ini akan diaminkan oleh banyak orang? Tentu saja tidak! Hukum moral dan hati nurani kita akan menilai ketidakpedulian terhadap orang-orang miskin sebagai sebuah kesalahan. Kita menyadari bahwa moralitas tidak boleh hanya berhenti pada "tidak merugikan orang lain".
Alkitab juga mengajarkan prinsip yang sama. Apa yang boleh dilakukan bisa menjadi tidak boleh dilakukan jika tindakan itu tidak membawa manfaat positif bagi orang lain, maupun jika memperbudak diri sendiri (1Kor. 6:12; 10:23). Moralitas Alkitab mencakup tanggung jawab dan kepedulian terhadap orang lain.
Bagaimana dengan CF? Bukankah gaya hidup ini berdampak positif bagi kelestarian bumi yang sudah padat penduduknya? Tidak juga!
Dampak yang signifikan bagi bumi melalui CF hanyalah ilusi (atau pembenaran belaka). Untuk mencapai dampak yang signifikan, CF harus dilakukan secara masif oleh banyak orang. Persoalannya, jika gaya hidup ini dipraktikkan oleh semakin banyak orang, kelangsungan hidup manusia justru akan dipertaruhkan. Roda ekonomi lambat laun akan berhenti. Tenaga kerja potensial tidak ada lagi. Generasi tua akan menderita karena tidak ada yang melayani mereka. Dampak-dampak ekonomis dan sosial lain juga akan bermunculan. Jika diteruskan, kelangsungan populasi manusia akan terancam. Apa yang dipikirkan sebagai motivasi positif (menjaga kelestarian bumi yang sudah padat) akan berubah menjadi dampak negatif.
Ancaman ini sudah disadari oleh banyak negara. Beberapa negara yang dahulu sangat menekankan angka kelahiran sekarang mulai memberikan kelonggaran. Beberapa negara di Eropa, bahkan mulai mendorong penduduknya untuk memiliki anak. Mereka sudah memprediksi dampak bola salju dari gaya hidup CF.
Persoalan yang tidak kalah mendasar adalah perspektif terhadap keturunan. Terlepas dari alasan apapun di balik CF, penganutnya memiliki perspektif yang cukup seragam tentang anak. Mereka menganggap kehadiran anak sebagai sebuah hal yang negatif, entah itu sebagai ancaman bagi kebahagiaan diri sendiri atau kelestarian alam.
Alkitab menyediakan perspektif yang berbeda. Anak-anak adalah karunia yang indah dari Allah (Mzm. 127:3). Bisa memiliki keturunan merupakan salah satu berkat Tuhan (Kej. 1:28). Pernikahan merupakan sarana untuk menghasilkan keturunan-keturunan ilahi (Mal. 2:15). Pendeknya, memiliki anak merupakan hal yang baik dari Tuhan. Jika memungkinkan dan diberi kemampuan oleh Tuhan, mengapa orang-orang Kristen tidak mengambil opsi ini? Jika memiliki anak lebih memuliakan Tuhan daripada sebaliknya, mengapa kita tidak mengambil opsi ini (1Kor. 10:31)? Soli Deo Gloria.
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | Reformed Exodus Community |
Alamat situs | : | https://rec.or.id/bagaimana-pandangan-alkitab-tentang-gaya-hidup-child-free/ |
Judul asli artikel | : | Bagaimana Pandangan Alkitab tentang Gaya Hidup Child Free? |
Penulis artikel | : | Pdt. Yakub Tri Handoko |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA