PSM - Pelajaran 01
Nama Kelas | : | Pengenalan Sekolah Minggu |
Nama Pelajaran | : | Pengenalan Sekolah Minggu |
Kode Pelajaran | : | PSM-P01 |
Pelajaran 01 -- Pengenalan Sekolah Minggu
Daftar Isi
- Pengertian Pelayanan Sekolah Minggu
- Istilah "Sekolah Minggu"
- Definisi Pelayanan Sekolah Minggu
- Pelayanan Sekolah Minggu dan Gereja
- Pelayanan Anak dalam Alkitab dan Sejarah Sekolah Minggu
- Pelayanan Anak Masa Perjanjian Lama (Ulangan 6:4-7)
- Pelayanan Anak Masa Perjanjian Baru (1 Timotius 3:15)
- Sejarah dan Perkembangan Pelayanan Sekolah Minggu
- Sejarah Pelayanan Sekolah Minggu
- Perkembangan Pelayanan Sekolah Minggu
- Pelayanan Sekolah Minggu pada Era Digital
- Fondasi Pelayanan Sekolah Minggu
- Visi Pelayanan Sekolah Minggu
- Misi Pelayanan Sekolah Minggu
- Tujuan Pelayanan Sekolah Minggu
- Menjangkau "Domba-Domba Kecil"
- Membina Pertumbuhan Rohani Anak Melalui Studi Alkitab Digital
- Membangun Rasa Kebersamaan dalam Gereja
Doa
Pelajaran 01 -- Pengenalan Sekolah Minggu
Modul Pengenalan Sekolah Minggu ini dirancang untuk mereka yang ingin tahu dan terlibat secara serius dalam pelayanan Sekolah Minggu, baik sebagai pemula maupun yang sudah lama melayani di Sekolah Minggu. Ada 4 hal penting yang akan dibahas. Mari kita memulainya satu per satu.
- Pengertian Pelayanan Sekolah Minggu
- Istilah "Sekolah Minggu"
- Definisi Sekolah Minggu
- Pelayanan Sekolah Minggu dan Gereja
- Pelayanan Anak dalam Alkitab dan Sejarah Sekolah Minggu
- Pelayanan Anak Masa Perjanjian Lama (Ulangan 6:4-7)
- Pelayanan Anak Masa Perjanjian Baru (1 Timotius 3:15)
- Sejarah dan Perkembangan Pelayanan Sekolah Minggu
- Sejarah Pelayanan Sekolah Minggu
- Perkembangan Pelayanan Sekolah Minggu
- Pelayanan Sekolah Minggu pada Era Digital
- Fondasi Pelayanan Sekolah Minggu
- Visi Pelayanan Sekolah Minggu
- Misi Pelayanan Sekolah Minggu
- Tujuan Pelayanan Sekolah Minggu
- Menjangkau "Domba-Domba Kecil"
- Membina Pertumbuhan Rohani Anak Melalui Studi Alkitab Digital
- Membangun Rasa Kebersamaan dalam Gereja
Bagian yang paling mendasar adalah membahas tentang pengertian pelayanan Sekolah Minggu.
Istilah "Sekolah Minggu" pertama kali digunakan pada 1780-an di Inggris untuk menyebutkan sebuah program yang menyediakan pendidikan rohani bagi anak-anak buruh dan diadakan pada hari Minggu. Sekarang, istilah "Sekolah Minggu" sudah menjadi praktik umum digunakan oleh banyak gereja Kristen di seluruh dunia.
Sekolah Minggu adalah pelayanan dalam gereja yang menyediakan pendidikan agama Kristen dan pembinaan rohani, khususnya untuk anak-anak, terutama dalam konteks pelayanan Sekolah Minggu di Indonesia. Biasanya diadakan pada Minggu pagi, sebelum atau sesudah kebaktian umum.
Saat ini, pelayanan Sekolah Minggu telah menjadi bagian yang integral dengan gereja. Pendorong utama gereja memperhatikan pelayanan Sekolah Minggu adalah karena anak-anak adalah masa depan gereja. Sudah terbukti dari berbagai survei bahwa pengurus/aktivis gereja, pada umumnya adalah orang-orang yang telah dididik dalam pelayanan Sekolah Minggu.
Mengapa melakukan pelayanan anak? Bagaimana pelayanan anak diadakan pada zaman dahulu? Untuk itu, mari kita melihat masa pelayanan anak di Alkitab dan gereja mula-mula.
Kalau kita menelusuri kembali zaman Perjanjian Lama, sebenarnya Alkitab telah memberikan perhatian yang serius terhadap pembinaan rohani anak. Pada masa itu, pembinaan rohani anak dilakukan sepenuhnya dalam keluarga (Ulangan 6:4-7). Sejak sebelum usia lima tahun, anak telah dididik oleh orang tuanya untuk mengenal Allah Yahweh. Pada masa pembuangan di Babilonia (500 SM), ketika Tuhan menggerakkan Ezra dan para ahli kitab untuk membangkitkan kembali kecintaan bangsa Israel kepada Taurat Tuhan, maka dibukalah tempat ibadah Sinagoge sehingga mereka dapat belajar firman Tuhan kembali, termasuk di antara mereka adalah anak-anak kecil. Orang tua wajib mengirimkan anak-anaknya yang berusia di atas lima tahun ke Sinagoge. Di sana, mereka dididik oleh guru-guru sukarelawan yang mahir dalam kitab Taurat. Anak-anak dikelompokkan dengan jumlah maksimum 25 orang dan dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya, sedangkan guru adalah fasilitator yang selalu siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Ketika orang Yahudi yang dibuang di Babilonia diizinkan pulang ke Palestina, mereka meneruskan tradisi membuka tempat ibadah Sinagoge ini di Palestina sampai masa Perjanjian Baru. Sebagaimana anak-anak Yahudi yang lain, Tuhan Yesus juga menerima pengajaran Taurat di Sinagoge saat masih kecil. Ketika Yesus berusia dua belas tahun, kitab Injil menceritakan kepada kita bahwa Dia sanggup bertanya jawab dengan para ahli Taurat di Bait Allah. Tradisi mendidik anak-anak secara ketat terus berlangsung sampai pada masa rasul-rasul (1 Timotius 3:15) dan gereja mula-mula. Namun, tempat untuk mendidik anak perlahan-lahan tidak lagi di Sinagoge, tempat orang Yahudi memberikan pendidikan agama dan tradisi Yudaisme, melainkan di gereja, tempat jemaat Tuhan berkumpul.
Namun sayang sekali, pada abad pertengahan, gereja tidak lagi memelihara kebiasaan mendidik anak seperti abad-abad sebelumnya. Bahkan, orang dewasa pun tidak lagi mendapatkan pengajaran firman Tuhan dengan baik. Barulah pada masa Reformasi, gerakan pengembalian kepada pengajaran Alkitab dibangkitkan lagi, dan pendidikan terhadap anak-anak mulai digalakkan kembali, khususnya melalui kelas Katekismus (katekisasi). Untuk itu, hanya para pekerja gerejalah yang diizinkan untuk terlibat dalam pembinaan. Namun, kurangnya orang yang terlatih untuk mengajarkan kelas Katekismus menyebabkan pelayanan anak menjadi mundur, bahkan perlahan-lahan tidak lagi menjadi perhatian utama gereja dan diadakan hanya sebagai prasyarat bagi anak-anak yang akan menerima konfirmasi (baptis sidi).
Bagaimana pelayanan anak, hari ini, akhirnya menjadi pelayanan Sekolah Minggu di gereja? Bagaimana sejarahnya?
Pada abad ke-18 (1780), seorang wartawan Inggris bernama Robert Raikes digerakkan oleh rasa cinta kepada anak-anak membuat suatu gerakan yang akhirnya mendorong lahirnya pelayanan Sekolah Minggu. Bagaimana hal ini terjadi?
Pada masa akhir abad ke-18, Inggris sedang dilanda dengan krisis ekonomi yang sangat parah. Setiap orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan anak-anak dipaksa bekerja untuk bisa mendapatkan penghidupan yang layak. Pada saat itu, wartawan Robert Raikes mendapat tugas untuk meliput berita tentang anak-anak gelandangan di Gloucester bagi sebuah koran milik ayahnya. Apa yang dilihat Robert sangat memprihatinkan, sebab anak-anak gelandangan itu harus bekerja dari Senin sampai Sabtu. Apa yang dilakukan anak-anak pada hari Minggu? Hari Minggu adalah satu-satunya hari libur bagi mereka dan dihabiskan hanya untuk bersenang-senang. Namun, karena mereka tidak pernah mendapat pendidikan (tidak bersekolah), anak-anak itu menjadi sangat liar. Mereka minum-minum dan melakukan berbagai macam kenakalan dan kejahatan.
Melihat keadaan itu Robert Raikes bertekad untuk mengubah keadaan. Dia dengan beberapa teman mencoba melakukan pendekatan kepada anak-anak tersebut dengan mengundang mereka berkumpul di dapur milik Ibu Meredith di kota Scooty Alley. Selain mendapat makanan, di sana mereka juga diajarkan sopan santun, termasuk membaca dan menulis. Namun, hal paling indah yang diterima anak-anak di situ adalah mereka mendapat kesempatan mendengar cerita-cerita Alkitab. Pada mulanya, pelayanan ini sangat tidak mudah. Banyak anak yang datang dalam keadaan yang sangat kotor dan bau. Namun, dengan mendidik kedisiplinan, kadang dengan pukulan rotan, tetapi dilakukan dengan penuh cinta kasih, anak-anak itu akhirnya belajar untuk mau dididik dengan baik sehingga semakin lama semakin banyak anak yang datang ke dapur Ibu Meredith. Semakin banyak juga guru yang disewa untuk mengajar mereka, bukan hanya untuk belajar membaca dan menulis, tetapi juga firman Tuhan. Perjuangan yang sangat sulit, tetapi melegakan. Dalam waktu empat tahun, sekolah yang diadakan pada hari Minggu itu semakin berkembang, bahkan ke kota-kota lain di Inggris. Jumlah anak yang datang ke sekolah hari Minggu pun mencapai 250.000 anak di seluruh Inggris.
Mula-mula, gereja tidak mengakui kehadiran gerakan Sekolah Minggu yang dimulai oleh Robert Raikes ini. Namun, karena kegigihannya menulis ke berbagai publikasi dan membagikan visi pelayanan anak ke masyarakat Kristen di Inggris, dan juga atas bantuan John Wesley (pendiri gereja Methodis), akhirnya kehadiran Sekolah Minggu diterima oleh gereja. Mula-mula hanya oleh gereja Methodis, tetapi akhirnya juga oleh gereja-gereja Protestan lain. Ketika Robert Raikes meninggal dunia pada 1811, jumlah anak yang hadir di Sekolah Minggu di seluruh Inggris mencapai lebih dari 400.000 anak. Dari pelayanan anak ini, Inggris tidak hanya diselamatkan dari revolusi sosial, tetapi juga diselamatkan dari generasi yang tidak mengenal Tuhan.
Gerakan Sekolah Minggu yang dimulai di Inggris ini akhirnya menjalar ke berbagai tempat di dunia, termasuk negara-negara Eropa lainnya dan ke Amerika. Dari para misionaris yang pergi melayani ke negara-negara Asia, pelayanan anak melalui Sekolah Minggu juga akhirnya dikenal di Indonesia.
Sekarang, hampir tidak ada gereja yang tidak memiliki Sekolah Minggu. Namun, perkembangan pelayanan Sekolah Minggu tidak selalu menggembirakan. Ada orang-orang yang menganggap pelayanan Sekolah Minggu hanyalah cara gereja menyediakan tempat penitipan anak agar orang dewasa/orang tua anak-anak dapat berbakti dengan tenang, tanpa gangguan dari anak-anak.
Bagi gereja yang melihat visi Tuhan untuk pelayanan Sekolah Minggu, biasanya mereka memberikan perhatian yang baik, terkhusus dengan menyediakan guru-guru Sekolah Minggu (GSM) yang terdidik, bahan Sekolah Minggu yang bermutu, dan dukungan keuangan yang memadai. Seperti kita tahu pelayanan Sekolah Minggu adalah pelayanan yang esensial untuk membangun generasi penerus gereja yang akan datang. Inilah kunci pertumbuhan gereja.
Pelayanan anak dan Sekolah Minggu telah berubah secara signifikan pada era digital. Apalagi saat adanya pandemi COVID-19, gereja-gereja seakan-akan dipaksa untuk mencari cara-cara baru untuk melayani anak-anak dan remaja, misalnya melalui pelayanan streaming online atau konferensi video call. Namun, sekalipun penggunaan teknologi telah memungkinkan gereja-gereja untuk terhubung dengan anak-anak dan remaja dengan cara-cara baru, hal ini juga menghadirkan tantangan-tantangan baru.
Kemunculan teknologi media sosial juga telah mengubah pola membesarkan anak. Banyak orang tua menyebutnya sebagai tantangan utama dalam mendidik anak. Guru-guru Sekolah Minggu pun menghadapi tantangan yang berbeda dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Guru pada era digital mendapat kesempatan mengajar dengan lebih dinamis dan kreatif, misalnya dengan alat-alat multimedia, tetapi pada saat yang sama distraksi dunia sekuler yang menyajikan hiburan dengan cara-cara digital juga lebih disukai anak-anak.
Jadi, secara singkat, era digital telah membawa peluang sekaligus tantangan baru bagi pelayanan Sekolah Minggu.
Visi dan misi Sekolah Minggu berbeda-beda tergantung dari masing-masing gereja, tetapi pada umumnya memiliki tujuan untuk memberikan pendidikan rohani untuk anak-anak, baik anak jemaat ataupun anak di luar jemaat.
Sekolah Minggu tidak didirikan karena keinginan manusia saja. Allahlah yang terutama menggerakkan manusia yang dikasihi-Nya untuk memiliki kerinduan menjangkau jiwa-jiwa "kecil" bagi Kerajaan-Nya. Visi Sekolah Minggu adalah melihat jauh ke depan kepada kerinduan Allah untuk bersekutu dengan manusia, di antaranya adalah anak-anak yang masih muda belia, supaya melalui mereka rencana Tuhan bagi gereja di dunia diwujudkan.
"Biarkanlah anak-anak itu kecil itu. Jangan menghalangi mereka datang kepada-Ku ...." (Matius 19:14). Pertanyaan: apa yang bisa kita lakukan dan kerjakan untuk Sekolah Minggu tempat kita melayani? Melalui Sekolah Minggu, kita ingin agar anak-anak dapat dengan bebas datang kepada Tuhan Yesus dan menerima Dia menjadi Juru Selamat pribadi mereka.
Minimal ada 3 poin penting yang menjadi tujuan pelayanan Sekolah Minggu:
Saat ini, ladang misi terbesar abad ini adalah menjangkau "suku digital". Mereka adalah anak-anak yang lahir setelah tahun 2000, yang harus dijangkau secara lintas budaya, yaitu "budaya digital". Mereka juga hidup tidak dalam konteks geografis seperti orang tuanya, tetapi di "dunia digital", dan mereka memiliki kehidupan sosial dan bahasa yang berbeda dari zaman orang tuanya.
Selain pada penjangkauan anak, kita juga harus fokus kepada pembinaan anak. Pembinaan anak juga harus dilakukan dengan cara-cara yang relevan dengan generasi mereka, yaitu generasi digital --> "4 H" - Head, heart, hands, dan HP.
Pengenalan anak akan Alkitab harus dilakukan sedini mungkin, mulai dari menghafal ayat-ayat pendek, sampai melakukan studi Alkitab secara sederhana. Untuk itu, kerja sama Guru Sekolah Minggu, orang tua, dan gereja haruslah jelas karena tidak bisa tugas ini dikerjakan sendiri.
Tujuan ketiga dari pelayanan Sekolah Minggu adalah bagaimana generasi digital bisa diterima, nyaman, dan berkarya dalam gereja Tuhan. Bagaimana caranya? Gereja harus terus fresh supaya anak-anak muda merasa bahwa gereja adalah rumah mereka yang kedua.
Akhir Pelajaran (PSM-P01)
Doa
"Bapa yang baik, aku bersyukur kepada-Mu karena Engkau dalam sepanjang zaman memakai hamba-hamba-Mu untuk menjangkau anak-anak sehingga sampai saat ini, aku boleh menjadi salah satu alat yang Tuhan pakai untuk melayani mereka. Mampukan aku agar Kabar Baik mengenai Engkau dapat sampai kepada anak-anak yang aku layani dan mereka semakin mengasihi Tuhan dalam kehidupannya. Amin."
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA