SHA-Referensi 04a
Nama Kursus | : | SEPULUH HUKUM ALLAH UNTUK KEHIDUPAN MANUSIA (SHA) |
Nama Pelajaran | : | Hukum Kelima, Keenam dan Ketujuh |
Kode Pelajaran | : | SHA-R04a |
Referensi SHA-04a diambil dari:
Judul asli buku | : | How Can We Resist the Lure of Sexual Sin? |
Judul buku terjemahan | : | Seri Mutiara Iman: Bagaimana Mengatasi Godaan Dosa Seksual? |
Judul bab | : | Kebohongan yang Kita Percayai Tentang Seks |
Penulis | : | Kurt De Haan |
Penerjemah | : | Dra. Mariani Santoso |
Penerbit | : | Yayasan Gloria, Yogyakarta 1996 |
Halaman | : | 5 -- 12 |
REFERENSI PELAJARAN 04a - KEBOHONGAN TENTANG BATASAN SEKS
Pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, pencurian dan penipuan bukanlah perbuatan yang dapat dibenarkan walaupun untuk alasan yang baik. Hal inilah yang menyebabkan dibuatnya peraturan untuk mengatasi tindakan merusak, pembakaran, penjualan narkotika, penyuapan, dan penganiayaan.
Meskipun menjengkelkan, seperti larangan-larangan tertentu di jalan tol bagi kendaraan yang melaju, hal itu bertujuan baik. Kita butuh peraturan untuk melindungi hak-hak asasi manusia dan mencegah perilaku yang berbahaya dan merusak.
Namun, bagaimana dengan pedoman bagi perilaku seksual? Apakah benar bahwa tidaklah baik bagi seorang pria yang kesepian di rumah memandang foto-foto dalam majalah khusus untuk kaum pria atau mengagumi tubuh-tubuh yang indah dalam pakaian renang yang dimuat di majalah olahraga? Apakah salah bagi seorang wanita yang pernikahannya tidak harmonis menikmati hubungan intim dengan seorang pria yang penuh perhatian dan belas kasih? Apakah pasangan yang belum menikah diharapkan tidak melakukan hubungan seks sekalipun mereka berpikir bahwa mereka saling mencintai dan akan memakai alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan atau penyakit? Apakah keterlibatan seksual antara dua orang yang telah dewasa dapat merugikan orang lain?
Dalam masyarakat, ada banyak pandangan yang berbeda tentang batasan-batasan seksual. Sebelum meneliti apa yang dikatakan Allah, mari kita simak berbagai kebohongan tersebut.
Kebohongan-kebohongan
- "Saya melakukan apa yang baik bagi saya."
- "Batasan-batasan dari Alkitab sudah kuno."
- "Allah tidak peduli pada apa yang saya perbuat."
- "Allah tidak menentang seks pranikah, perzinahan atau homoseksualitas -- Dia hanya menentang hubungan seks yang gonta-ganti."
- "Semua perilaku seks tidak menjadi masalah bila dilakukan berdasarkan cinta."
- "Hampir semua orang melakukannya, jadi perbuatan itu tidak salah."
- "Memadamkan dorongan seks bukanlah tindakan yang alamiah."
- "Terangsang pada seseorang tidaklah buruk sepanjang Anda tidak menyalurkannya."
- "Perilaku seks pranikah (seperti petting dan seks oral) tidak apa-apa, tetapi hubungan suami-istri tidak boleh."
- "Pengalaman seks sebelum menikah akan menolong kita saat menikah."
Sampai di mana batasan seks yang benar? Mari kita mulai dengan melihat jawaban yang terdapat dalam 1 Tesalonika 4. Paulus menunjukkan beberapa kebenaran yang dapat menolong kita.
-
Batasan-batasan yang benar dan salah dalam Alkitab diberikan oleh Allah, bukan manusia. Rasul Paulus memberitahu orang-orang Kristen baru, "Kamu tahu juga petunjuk-petunjuk mana yang telah kami berikan kepadamu atas nama Tuhan Yesus" (ayat 2). Pernyataan tentang bagaimana seharusnya hidup kristiani itu bukanlah ide Paulus. Bukan pula pencerminan dari kebudayaan atau apa yang dipercayai oleh teman-teman baiknya. Perintah itu datang dari Allah dan dinyatakan dengan otoritas yang diberikan Yesus kepadanya selaku seorang rasul. Ia menyebut perintah itu sebagai "kehendak Allah" (ayat 3). Dan sekali lagi, dalam ayat 8, ia berkata bahwa "siapa yang menolak ini bukanlah menolak manusia, melainkan menolak Allah."
Penekanan inilah yang dibutuhkan untuk mengingatkan kita pada akibat yang akan dialami bila memilih jalan kita sendiri. Sangatlah mudah mengambil kesimpulan bahwa perilaku seksual tidaklah terkait dengan iman kita kepada Allah. Sangatlah mudah mengambil kesimpulan bahwa kita tetap mengasihi Allah dan percaya kepada-Nya sekalipun terikat oleh perilaku seksual yang tidak sesuai dengan batasan-batasan Alkitab.
Namun inilah yang dibutuhkan untuk membeberkan berbagai kebohongan yang ada. Kita harus menyadari bahwa kita tidak dapat menolak hukum Allah tanpa menolak Allah dan keallahan-Nya dalam hidup kita. Hukum-hukum-Nya mengungkapkan kasih dan hikmat-Nya. Jika kita mencoba memisahkan masalah-masalah seksual dari hubungan pribadi kita dengan Allah, berarti kita berusaha melakukan hal yang mustahil.
Oleh karena itu kita harus sangat hati-hati, jangan sampai membuang bagian Alkitab yang tidak kita setujui. Batasan-batasan seksual dalam Alkitab selalu konsisten -- baik dalam Perjanjian Lama, pernyataan Kristus sendiri, maupun dalam Perjanjian Baru. Dan hukum-hukum dalam Alkitab bukanlah pendapat manusia -- tetapi dari Allah sendiri (2 Timotius 3:16; 2 Petrus 1:20-21).
Sayangnya, kita semua bergumul dengan hal ini karena secara alamiah kita memiliki dorongan dari dalam diri untuk melakukan kehendak kita sendiri, dan lingkungan di sekeliling kita kelihatannya mendorong kita melakukan hal yang sama. Masalah ini telah menggoda kita sejak kejatuhan manusia dalam dosa (Roma 1:18-32). Karena kita sering kali lebih suka menuruti hukum yang kita buat daripada memercayai bahwa Allah tahu yang terbaik, maka kita tidak ingin tunduk pada batasan-batasan moral yang tinggi dari Allah dan yang kita butuhkan.
-
Allah melarang perilaku seksual yang tak bermoral. Allah tidak bersikap toleran terhadap perilaku seksual. Dalam 1 Tesalonika 4:3 Paulus menulis, "Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan."
Bahasa Yunani untuk "percabulan" adalah porneia, digunakan Paulus untuk menunjuk pada hubungan seksual yang tidak sah, di luar hubungan seorang pria dengan seorang wanita dalam ikatan pernikahan. Percabulan menyangkut seks pranikah, perzinahan, perilaku homoseksual, pelacuran, inses, pemerkosaan, dan perkataan yang tak senonoh. (Imamat 20 memuat daftar yang bervariasi tentang perilaku seksual yang melanggar ketetapan Allah.)
Mengapa Allah menempatkan batas-batas di sekeliling seks? Bayangkanlah sebuah sungai yang mengalir dengan tenang melintasi kota dan ladang-ladang pertanian. Sungai itu menyediakan air bagi masyarakat dan industri, serta mengairi ladang-ladang. Orang-orang dapat memancing. Anak-anak berenang dan bermain-main di sungai itu. Namun bila hujan deras datang, sungai itu akan meluap, melanda kota dan ladang-ladang. Rumah-rumah dan kegiatan sehari-hari berantakan, panen gagal dan keluarga-keluarga berdukacita karena kehilangan anggotanya.
Dalam banyak hal, seks tidak berbeda jauh dengan sungai yang digambarkan di atas. Dalam batas-batas yang telah ditetapkan Allah, seks menjadi indah dan memberi sukacita bagi pria dan wanita. Namun jika kita memilih untuk berdosa, seks akan melampaui batas dan mendatangkan malapetaka dalam hidup kita dan orang lain.
Allah ingin memberi yang terbaik kepada kita. Batasan-batasan-Nya dimaksudkan untuk melindungi kita, bukan untuk merampas kesenangan kita.
-
Allah menciptakan seks sebagai bagian yang indah dalam ikatan pernikahan. Paulus berbicara tentang hidup dalam kekudusan dan kehormatan (1 Tesalonika 4:4). Kita menggunakan seksualitas kita dalam kekudusan dan kehormatan dalam ikatan pernikahan. Ibrani 13:4 menyatakan, "Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur." Bahasa Yunani bagi tempat tidur mengacu pada hubungan seksual.
Hubungan antara suami dan istri memberi kesempatan bagi pemenuhan dorongan seks. Rasul Paulus menyatakan bahwa suami dan istri harus saling memenuhi kebutuhan pasangannya (1 Korintus 7). Jika tidak, hal itu akan memberi kesempatan bagi Iblis untuk menggoda (ayat 5).
Pada masa penciptaan, Allah menetapkan bahwa pria dan wanita akan meninggalkan orang tuanya dan menjadi "satu daging" (Kejadian 2:24). Hubungan satu daging ini telah dirancang untuk membangun keintiman fisik dan rohani dalam tekad untuk bersatu dengan pasangannya (Matius 19:5-6). Meskipun demikian, untuk mewujudkan kerinduan yang besar akan hubungan yang intim dan penuh kasih, kita terlalu sering menggunakan keintiman seksual sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir. Dan nafsu dapat membutakan sehingga akhirnya kita hanya mengejar seks demi seks, tanpa menyadari implikasi rohani yang dalam dari tindakan tersebut (1 Korintus 6:15-20).
-
Kita tidak boleh memakai batasan-batasan perilaku dunia. Rasul Paulus mengatakan bahwa janganlah memakai tubuh kita "di dalam keinginan hawa nafsu, seperti yang dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah" (1 Tesalonika 4:5.)
Dunia kita telah dibayang-bayangi oleh pandangan tentang seks yang terputar balik. Seperti semua karunia Allah lainnya, seks telah dihancurkan oleh dosa. Iklan, tayangan televisi, film, majalah, buku dan percakapan sehari-hari di tempat kerja telah mencabut seks keluar dari maksud sebenarnya -- dan keluar dari batasan-batasan masyarakat. Dan nafsu yang tidak terpuaskan akan terus-menerus menuntut pemuasan. Itu merupakan satu cara untuk menolak pikiran sehat dan mendorong manusia menggunakan sesamanya untuk memuaskan gairah seksual mereka (melalui majalah, video, film, musik dan pertemuan-pertemuan pribadi).
Dunia tidak dapat memberi tuntunan moral kepada kita karena dunia mengabaikan kemutlakan moral Allah dalam membatasi pemuasan nafsu manusia. Roma 1 secara garis besar menyebutkan kecenderungan yang sedang terjadi. Dan berulangkali orang-orang memberontak terhadap batasan-batasan Allah karena cara-caraNya menelanjangi cara-cara mereka -- yang mereka pikir sebagai cara terbaik bagi mereka.
-
Kesucian adalah masalah hati. Paulus mengingatkan akan nafsu yang dapat mengontrol kehidupan (1 Tesalonika 4:5). Yesus menolong kita menyadari bahwa meskipun tidak secara nyata ingin berbuat dengan tubuh kita, tetapi mungkin kita telah berzinah dalam pikiran (Matius 5:27-30).
Pada titik inilah kita membutuhan kejelasan antara pikiran tentang seks yang masih diizinkan dan nafsu. Dalam batas-batas tertentu, kita semua berpikir tentang seks; itu adalah bagian dari pengalaman kita sebagai manusia. Hal yang harus kita hindari adalah sikap membiarkan dan menikmati pikiran-pikiran yang tidak bermoral itu. Jika pikiran kita diisi dengan perilaku seksual di luar rancangan Allah, kita sudah melampaui batas dan menuju nafsu. Pikiran tentang seks yang tidak sah harus dikenali seperti apa adanya, dan kemudian ditolak.
Amsal 4:23 menyatakan, "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." Yesus mengatakan, "Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat." (Matius 15:19) Pikiran-pikiran kita merupakan titik awal tindakan kita.
Untuk menyelesaikan suatu masalah, suara hati dapat disalah mengerti. Anda mungkin tahu bahwa nafsu dan cinta sangatlah berbeda, tetapi perbedaannya mungkin tidak begitu jelas tatkala seseorang sedang jatuh cinta. Seorang pria dan seorang wanita mungkin memandang hubungan intim mereka sebagai "bercinta," tetapi hubungan itu sebenarnya tidak mendatangkan cinta. Hal itu mungkin merupakan dorongan dari hasrat cinta diri yang agak berlebihan.
Nafsu menggunakan orang dan memperlakukan mereka sebagai objek. Kasih tidak mengambil keuntungan dari seseorang untuk memenuhi keinginan seksual Anda sendiri. Nafsu dapat membutakan seseorang akan perlunya mentaati perintah Allah dalam hal kesucian, dan dapat menyebabkan seseorang mengabaikan hal paling esensi dari komitmen pernikahan.
Dunia sering menjejali kita dengan kebohongan yang membuat kita merasa tidak mementingkan diri sendiri dan benar-benar menjalin hubungan seksual dengan kasih yang murni di luar pernikahan. Adalah sangat berpusat pada diri sendiri dan mengambil jalan pintas bila kita menganggap bahwa dorongan seks lebih penting daripada mentaati Allah atau melakukan yang terbaik bagi diri sendiri dan sesama secara fisik dan rohani, sekarang dan untuk selama-lamanya.
-
Seks bukanlah segalanya. Menurut 1 Tesalonika 4, nilai yang paling penting adalah menyenangkan Allah, mengejar kekudusan, memperlakukan tubuh kita dengan hormat, dan tidak menyalahkan orang lain (ayat 1-6). Tentu saja bukan bermaksud mengabaikan seks -- suatu pemberian Allah yang penting, tetapi kita juga tidak boleh serta merta menjadikannya berhala. Seseorang bisa saja hidup bahagia tanpa seks.
Sayangnya, seseorang yang tidak menikah sering menganggap bahwa ia belum lengkap sebagai satu pribadi bila belum berhubungan seks dengan seseorang. Pernikahan dan seks dapat begitu dipuja sehingga seseorang yang masih sendiri merasa tidak lengkap tanpanya. Namun kebenaran yang sesungguhnya adalah bahwa seks hanyalah sebagian dari seluruh hubungan dalam pernikahan. Kehidupan seks yang baik tidak menjamin kebahagiaan pernikahan.
Jika seks adalah bagian dari hidup kita yang tak terpisahkan, maka rasul Paulus tidak akan menulis keuntungan-keuntungan hidup melajang dalam 1 Korintus 7:32-40.
Jika kita mengejar kesenangan seksual seolah-olah itulah jalan menuju kebahagiaan, kita akan selalu menemukan bahwa seks tidak memberi kepuasan yang kita harapkan. Sebaliknya, kita akan kecanduan dan diperbudak nafsu; dan keinginan untuk melakukannya, akan berakhir dengan kekecewaan yang amat mendalam di hati kita. Sebagai contoh, raja Salomo tidak menemukan kepenuhan dalam hal kesenangan jasmani di dalam dan melalui kesenangan itu sendiri (Pengkhotbah 2).
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA