SHA-Referensi 06a
Nama Kursus | : | SEPULUH HUKUM ALLAH UNTUK KEHIDUPAN MANUSIA (SHA) |
Nama Pelajaran | : | Hukum yang Terutama |
Kode Pelajaran | : | SHA-R06a |
Referensi 06a diambil dari:
Judul Buku | : | Etika Kristen Bagian Umum |
Judul Artikel | : | Pokok Hukum Taurat |
Pengarang | : | DR. J. Verkuyl |
Penerbit | : | Gunung Mulia |
Halaman | : | 139 - 149 |
REFERENSI PELAJARAN 06a - POKOK HUKUM TAURAT
Isi Injil dapat disimpulkan dalam satu kalimat: Allah alalah kasih. Bukan kita yang mengasihi Allah, tetapi Allahlah yang mengasihi kita dan kasih-Nya tetap dicurahkan terus kepada kita. Kasih-Nya tidak kunjung padam. Itulah Injil.
Hukum Taurat pun dapat disimpulkan dalam satu kalimat: di dalam Hukum Taurat-Nya, Allah menuntut kasih: "Kasih itu adalah kegenapan Hukum Taurat". Allah menuntut apa yang diberikan-Nya, yakni kasih. Bukan yang lainnya. Tidak lebih dari itu. Tidak kurang dari itu. Allah memberikan semuanya. Diri-Nya sendiri. Itulah Injil.
Allah menuntut semuanya. Diri kita sendiri. Itulah perintah. Perintah itu banyak, tetapi semua perintah mempunyai sesuatu hubungan dengan perintah kasih. Perintah kasih itu dalam Peijanjian Lama dirumuskan dalam Kitab Ulangan 6:4 dan 5.
Dalam Perjanjian Baru Yesus bertolak kembali dari perumusan itu (Mat. 22:37-40): Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi".
Mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia. Dua buah perintah yang bersama-sama menjadi dwi-tunggal.
1. Bagaimanakah hubungan antara kedua bagian perintah kasih yang dwi- tunggal itu?
Banyak di antara ahli teologi dan filsafat yang memadukan kasih kepada Allah dengan kasih kepada sesama manusia.
Ahli filsafat Immanuel Kant mengatakan, bahwa kasih kepada Allah terdapat di dalam kasih kepada sesama manusia.
Ahli teologi Albrecht Ritschl, yang menuruti jejak Kant, mengatakan bahwa kasih kepada Allah tidak dapat berdiri sendiri. Kasih kepada Allah dinyatakan dalam kasih kepada sesama manusia. Ritschl mendasarkan hal itu pada 1 Yohanes 4:19-21 dan 1 Yohanes 5:1-3 (hal mana sebetulnya tidak benar).
Lebih-lebih lagi paham Richard Rothe dan Walter Rauschenbusch! Mereka mempersamakan kasih kepada Allah itu dengan pemenuhan kewajiban kita dalam pekerjaan kita. Emil Brunner pun mempersatukan kasih kepada Allah dengan kasih kepada sesama manusia dan mengatakan, bahwa hubungan antara kasih kepada Allah dengan kasih kepada sesama manusia adalah seperti mata air dan sungainya, pohon dan buahnya.
Betulkah itu? Adakah keberatan-keberatan terhadap jalan pikiran itu? Jika kita memikirkan masalah ini, haruslah kita mulai dengan memegang teguh, bahwa ada kesatuan batin antara kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia.
Yesus berfirman: ada dua buah perintah. Tetapi kedua perintah itu merupakan dwi-tunggal. Jika kita mengatakan bahwa kita mengasihi Allah, tetapi tidak mengasihi sesama manusia, maka pada hakikatnya kita tidak mengasihi Allah. Sebab Allah mengasihi manusia. Allah berkenan kepada manusia. Siapa mengasihi Allah haruslah pula mengasihi manusia yang telah dijadikan menurut gambar-Nya.
Demikianlah pula sebaliknya. Barangsiapa mengatakan bahwa ia mengasihi manusia, tetapi tidak mengasihi Allah, maka pada hakikatnya ia tidak mengasihi sesama manusia. Sebab Allah adalah satu-satunya sumber kasih yang sejati. Tanpa Allah berarti tanpa kasih, sebab Allah itu kasih.
Kesatuan inti perintah kasih yang dwi-tunggal ini penting sekali bagi Etika Kristen. Di dalam mistik (ilmu tasawuj) selalu terdapat kecenderungan akan memupuk kasih kepada Allah yang bersifat mistik, yang tidak memperhatikan kebutuhan sesama manusia. Kasih yang mistis semacam ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kasih yang sejati kepada Allah yang hidup. Itulah merupakan suatu cara penyembahan diri sendiri.
Orang yang mengasihi Allah secara mistik ini mengatakan juga bahwa ia mengasihi Allah, tetapi pada hakikatnya ia memuja diri sendiri. Mistik adalah semacam, "utismus" (autisme) si-Aku yang menjadi pusat (egosentrisitas).
Sebaliknya tampaklah bermacam-macam bentuk paham humanisme, yang menganjurkan mengasihi sesama manusia tanpa mengasihi Allah. Juga pengajaran yang demikian itu sia-sia belaka. Sebab kasih kepada sesama manusia itu tidak mungkin dan tidak dapat terjadi tanpa kasih kepada Allah.
Jadi kesatuan inti di dalam perintah kasih yang dwi-tunggal itu harus senantiasa diakui oleh Etika Kristen. Tetapi sebaliknya, tidak boleh diabaikan juga, bahwa kedua bagian dari pokok Hukum Taurat itu merupakan hal yang berdiri sendiri.
Kasih kepada Allah tidak sama dengan kasih kepada sesama manusia. Garis tegak lurus (vertikal), yakni hubungan dengan Allah, tidak lama dengan garis datar (horizontal), yakni hubungan dengan sesama manusia.
Loh pertama Hukum Taurat memang merupakan suatu dwi-tunggal dengan loh kedua Hukum Taurat itu. Tetapi loh pertama Hukum Taurat itu harus dibedakan dari loh kedua.
Di dalam bermacam-macam buku pelajaran Etika Kristen, hal itu kerap kali dilupakan. Ada juga buku-buku pelajaran Etika Kristen yang sama sekali tidak membicarakan tentang kasih kepada Allah. Keempat hukum yang pertama dari Kesepuluh Titah Tuhan itu dengan sepatah kata pun tidak disebut-sebutnya. Di dalam buku-buku pelajaran itu tidak diajarkan tentang melawan penyembahan berhala, penyembahan patung, melawan pencemaran nama Tuhan, dan melawan pencemaran hari Sabat yang kudus (hari Minggu).
Kasih kepada Allah tak disinggungnya sama sekali. Buku-buku pelajaran itu hanya membicarakan hubungan antara manusia dengan sesama manusianya. Itu tidak benar. Di dalam Etika Kristen haruslah terdapat pembicaraan tentang kasih kepada Allah dan berbagai segi dari kasih itu janganlah kita abaikan. Di dalam Etika umum semuanya ini belum lagi dijelaskan. Ini termasuk tugas Etika khusus.
Di sini hanya diberikan beberapa uraian pendahuluan yang singkat mengenai kasih kepada Allah, kasih kepada sesama manusia dan kasih kepada diri sendiri.
2. Kasih kepada Allah
Apakah artinya mengasihi Allah? Menurut Alkitab, artinya adalah membalas kasih Allah kepada kita. "Kita mengasihi, karena Allah terlebih dahulu telah mengasihi kita. Dan yang telah mengutus Anak- Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita" (1 Yoh. 4:19 dan 1 Yoh. 4:10). Mengasihi Allah berarti hidup dari kasih-Nya, yakni dikuasai oleh anugerah Allah. Mengasihi Allah ialah menerima dan memberi lagi, disayangi dan menyayangi.
Di dalam titah yang pertama dan terutama sudah kelihatan dengan terang, betapa sunguh-sungguh Allah meminta hati kita dan jiwa kita. Tuhan yang memberikan yang "terdalam' kepada kita, yakni diri-Nya sendiri, hati-Nya, Ia pun meminta kepada kita yang "terdalam" yang terakhir, yakni hatikits.
Dia pertama-tama tidak meminta kemauan kita. Dia pertama-tama tidak meminta perasaan dan emosi kita. Bukan pula milik dan waktu kita yang diminta-Nya. Tetapi yang diminta-Nya ialah apa yang diberikan- Nya kepada kita: hati, jiwa. Jika itu kita berikan kepada-Nya, maka Ia telah mendapat semuanya. Dengan demikian kita menyerahkan juga kepada-Nya: pikiran kita, perasaan kita, kehendak kita, waktu kita, milik kita, perkataan kita dan perbuatan kita.
Tuhan, yang mau menjadi Allah kita dengan sebulat-bulatnya (Akulah TUHAN, Allahmu), menghendaki supaya kita dengan sebulat-bulatnya hidup untuk Dia. Apa sebenarnya arti kasih kepada Allah itu, dapat dibaca antara lain di dalam keempat hukum yang pertama dari Dasatitah, yang kelak akan kita bicarakan.
Di sini hanyalah ditunjukkan, bahwa kasih kepada Allah itu juga meminta perhatian yang khusus dari kita. Kasih kepada Allah itu tidak hanya diusahakan di dalam kasih kepada sesama manusia. Kasih kepada Allah meminta juga kepada kita supaya kita menyediakan waktu yang khusus untuk melakukan kasih itu di dalam doa dan pembacaan Alkitab dan perenungan (meditasi) dan sebagainya.
Yesus Kristus tidak membuang kehidupan keagamaan dalam pengertian khusus. Bahkan sebaliknya. Ia membicarakannya dengan panjang lebar. Ia mau membersihkan kehidupan keagamaan itu dari motif-motif yang salah dan mengisinya dengan kasih kepada Allah yang sejati, (bnd. dengan Khotbah di Bukit dalam Mat 6:1-18).
Tepat sekali peringatan Soe di dalam Ethieknya, bahwa jika usaha mengasihi Allah itu menjadi tipis atau kabur, maka usaha mengasihi sesama manusia pun menjadi tipis atau kabur juga. Ia bertanya, "Apakah kasih kepada sesama manusia itu tumbuh sejak berkurangnya kasih kepada Allah dan berkurangnya usaha mengasihi ini?"
3. Kasih kepada sesama manusia
Dengan kesungguhan yang sesungguh-sungguhnya, Allah menuntut dari kita kasih kepada sesama manusia. Sebagaimana kasih kepada Allah didasarkan atas kasih Allah kepada kita, demikian pula kasih kita kepada sesama manusia didagarkan atas kasih Allah kepada sesama manusia.
Bahwa Allah berkenan akan manusia, itu telah dinyatakan di dalam Yesus Kristus. Anak manusia sudah datang untuk menyelamatkan orang-orang berdosa. Allah mengasihi manusia bukan karena kebajikannya, bukan karena kesalehannya, ataupun kebangsaannya. Tetapi Kasih Allah ialah kasih kepada orang yang jatuh, orang berdosa, orang jahat dan orang fasik. Di dalam Kasih itulah terletak sumber kasih kita kepada sesama manusia.
Allah menuntut supaya kita mengasihi sesama manusia demi kehendak Kristus. Jadi di dalam Alkitab dasar-dasar kasih kepada sesama manusia itu bukan terletak pada bangsa dan suku bangsa, bukan pada kepentingan golongan, pada sifat-sifat yang menarik hati dari sesama manusia, pada peri kelakuannya yang baik, pada bakat- bakatnya atau miliknya. Tetapi, dasar-dasarnya terletak pada Yesus Kristus. Hanya di dalam dan oleh Yesus Kristus orang dapat menjadi sesama manusia bagi kita.
Dengan tepat Barth mengatakan, bahwa pengertian sesama manusia itu adalah pengertian kekristenan. Pengertian sesama manusia itu barulah diterima dengan kesadaran oleh umum melalui agama Kristen. Manusia maupun segolongan manusia, menurut kodratnya, tidak mengenal kasih kepada sesama manusia. Menurut kodratnya, manusia memang mempunyai rasa kekeluargaan, rasa kebangsaan, rasa golongan, kesadaran akan kepentingan golongan, tetapi tidak mempunyai kasih kepada sesama manusia. Kita manusia menurut kodratnya, tidak mempunyai rasa kemanusiaan. Paling-paling kita hanya "family minded", tetapi tidak "social minded". Karena manusia telah kehilangan rasa kemanusiaannya, maka Allah menjadi manusia.
Allah yang "berperi-kemanusiaan". Di dalam Yesus Kristus Allah telah menyatakan, apa peri kemanusiaan itu. Di dalam dan karena Yesus Kristus barulah kita dapat mengenal sesama manusia.
Apa yang dimaksud dengan kasih kepada sesama manusia di dalam Alkitab, dapat kita lihat dari perumpamaan "Orang Samaria yang Murah Hati" yang menaruh belas kasihan. Bertanyalah seorang ahli Taurat, siapakah gerangan sesama manusianya itu. Ia menyangka dapat menjawab sendiri pertanyaaan itu. Jawabnya di dalam kehidupan sehari-hari adalah: "Aku memilih sesamaku manusia. Sesamaku manusia ialah: bangsaku sendiri dan di dalam lingkungan bangsa itu yang kuutamakan, yakni orang dari golonganku sendiri". Tetapi di dalam perumpamaan "Orang Samaria yang Murah Hati" itu, Tuhan Yesus menyatakan bahwa bukanlah kita sendiri yang menentukan, siapa yang menjadi sesama manusia kita. Allah juga yang menentukan untuk siapa kita layak menjadi sesama manusia.
Sesama manusia ialah misalnya orang yang sedang menderita kesukaran, yang ditempatkan Allah pada jalan hidup kita. Kita harus menjadi sesama manusia orang itu demi kehendak Allah.
Ketika orang Samaria melihat si korban yang sedang menderita kesukaran itu, ia tidak menanyakan: Apakah orang itu termasuk golonganku? Termasuk partaiku? Samakah agama kami? Tetapi ia sadar, bahwa di situ ada orang yang sedang ditimpa sengsara. Ia hidup dari kemurahan Allah, ia pun menjadi alat kemurahan Allah untuk orang yang ditimpa kesengsaraan. Ia tidak memilih sesama manusianya sendiri. Allah menempatkan seorang manusia di jalan hidupnya dan untuk dialah ia harus menjadi sesama manusia demi kehendak Allah.
Untuk siapakah kita harus menjadi sesama manusia? Pertanyaan ini tidak dapat kita jawab sendiri. Allah juga yang menjawab pertanyaan ini untuk kita di dalam keadaan yang konkret. Di dalam keadaan itu Allah menunjukkan kepada kita, untuk siapa kita harus menjadi sesama manusia. Sudah selayaknya kita harus menjadi sesama manusia bagi mereka yang berhubungan dengan kita karena bermacam-macam pertalian; keluarga kita, bangsa kita, teman sekerja dsb. Jika kita tidak menjadi sesama manusia bagi orang-orang yang betul-betul dekat dalam arti yang sebenarnya dan yang bersama-sama dengan kita, bagaimanakah hati kita akan dapat terbuka untuk orang lain yang ada di luar lingkungan tadi?
Suatu peribahasa Inggris mengatakan: "Charity begins at home: penyataan kasih dimulai di rumah". Dan peribahasa Jerman mengatakan tentang orang yang di jalan bagaikan malaikat, tetapi di rumah seperti setan: "Strassenengel und Hausteufel".
Paulus menunjukkan pula, bahwa sudah selayaknya kita harus mempunyai kasih kepada sesama manusia di dalam lingkungan orang- orang yang paling erat hubungannya dengan kita. Ia menulis dalam Galatia 6:10: "Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman". Tetapi, jika kasih itu terbatas pada orang dari bangsa kita, dari suku bangsa atau marga, dari persekutuan gereja kita atau agama, maka kita tidak mengetahui apa yang disebut kasih kepada sesama manusia menurut pengertian Alkitab. Jika mata kita betul-betul terbuka, jika kita hidup dari belas kasihan Allah, maka kita akan kerapkali menemukan orang-orang di luar lingkungan kita, yang ditempatkan Allah di jalan kita, supaya kita menjadi sesama manusia baginya. Bahkan tuntutan kasih kepada sesama manusia itu dapat berarti kasih kepada "orang yang paling jauh ". Sebab sesama manusia kita itu tidak selalu orang yang menurut tempatnya tinggal dekat dengan kita. Ia dapat juga beribu-ribu kilometer jauhnya dari kita.
Ketika Paulus di dalam mimpinya mendengar orang Makedonia berseru: "Datanglah dan tolonglah kami", maka ia mendengar seruan orang yang tergolong "orang yang terjauh", jika dilihat dari Asia Kecil. Paulus suka membatasi kasih akan sesama manusia itu pada golongan- golongan yang dikenalnya, bangsa-bangsa Sem dan orang-orang Asia Kecil. Ia belum pernah berhubungan dengan bangsa Eropah. Tetapi Allah sudah menjelaskan kepadanya pada malam itu, bahwa ia harus pula menjadi sesama manusia bagi bangsa Eropah.
Jika di suatu tempat ada suatu bencana, misalnya pada waktu gunung Merapi meletus, pada waktu air bah di Tiongkok, pada waktu gempa bumi di Chili, maka mungkinlah dengan tiba-tiba Allah menggerakkan orang yang jauh tempat tinggalnya menjadi sesama manusia bagi mereka yang tertimpa bencana itu!
Kita diperkenankan hidup dari kasih Allah kepada manusia. Allah mengasihi dunia ini. Allah mengasihi segala bangsa. Jika kita hidup dari kasih itu, maka kasih kepada sesama manusia itu tidak ada batas-batasnya. Allah tidak mendirikan tembok-tembok pembatasan. Allah tidak menarik lingkaran-lingkaran pembatasan di sekeliling bangsa-bangsa tertentu saja. Kasih Allah tidak terhenti oleh karena batas-batas tertentu. Oleh karena itu, maka kita pun tidak boleh membatasi kasih kita terhadap sesama manusia.
4. Kasih kepada diri sendiri
"Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Seperti dirimu sendiri. Bolehkah kita mengasihi diri kita sendiri?
Banyak ahli teologi berpendapat, bahwa tidak benar bila orang memerintahkan supaya mengasihi diri sendiri. (Demikianlah misalnya dalam tulisan-tulisan Luther dan Karl Barth.)
Pendapat lain (pada hemat kami tepatlah ini) mengatakan bahwa orang boleh mengasihi diri sendiri. Ada dua macam kasih kepada diri sendiri. Ada kasih kepada diri sendiri yang menurut kodrat, itu termasuk dosa. Dan ada kasih kepada diri sendiri yang dilahirkan dari kasih Allah kepada kita, manusia. Kasih kepada diri sendiri yang menurut kodrat itu adalah egoisme. Manusia, menurut kodratnya, selalu ingin menempatkan diri sendiri di pusat. Ia mencari kehormatan diri sendiri, kebesaran nama sendiri, kepentingan diri sendiri, kebahagiaan sendiri, kesukaan sendiri.
Di dalam cerita dewa-dewa Yunani dikisahkan tentang Narcissus, seorang dewa remaja yang congkak, gila bersolek. Narcissus selalu melihat bayangannya di dalam air kolam. Tersenyum ia demi melihat bayangannya itu. Ia memuji-muji dirinya sendiri.
Kasih kepada diri sendiri yang menurut kodrat itu adalah Narcisme. Kasih semacam itu janganlah diubah, diperbaiki, ataupun disublimasikan, tetapi haruslah dimatikan. Harus disalibkan bersama-sama Kristus. Kasih kepada diri sendiri semacam itu haruslah disangkal! Kita harus belajar mengatakan "tidak" terhadap kasih itu, dengan kekuatan Kristus. Jika kita sungguh-sungguh mengenal Yesus, maka kits sendiri harus dijatuhkan dari takhta kita. Barulah kita sadar bahwa kita sendiri bukan semacam dewa-dewa kecil. Tetapi hanya "anak yang hilang", yang tidak berharga dan yang berdosa.
Akan tetapi, jika kita mengalami, bahwa Allah mau menerima kita kembali, anak yang sudah hilang, jika kita diperkenankan hidup dari kasih Allah kepada kita sebagai orang-orang yang hina, maka bolehlah kita memandang diri kita sebagai anak-anak di dalam keluarga Bapa, sebagai ahli waris di dalam Kerajaan Allah, sebagai hamba sahaya Tuhan Yesus. Kita boleh hidup dari belas kasihan Allah, dan sebagai anak-anak Allah yang lain kita pun mendapat tempat di dalam Rumah Bapa, kita boleh menjadi peserta. Maka barulah timbul kasih kepada diri sendiri yang berlainan sama sekali dengan kasih kepada diri sendiri yang menurut kodrat itu dan yang sia-sia belaka.
Peran utama di dalam kasih kepada diri sendiri yang sia-sia ini adalah kita sendiri. Sedangkan di dalam kasih kepada diri sendiri yang diperbarui dan dikuduskan itu bukanlah kita sendiri yang merupakan peran utama, tetapi kita menjadi hamba sahaya dari Pemeran Utama: Yesus Kristus.
"Kasih kepada diri sendiri yang sejati ialah patuh pada perintah yang besar dan terutama" (Soe). Biji gandum menghasilkan buahnya, bila ia mati tertanam dalam tanah. Kasih kepada diri sendiri yang sejati tumbuh seimbang dengan kematian kasih kepada diri sendiri yang sia-sia itu. Barangsiapa menyangkal diri sendiri, maka ia akan menemukan bahwa jalan penyangkalan diri dan penyerahan diri kepada Yesus adalah jalan keselamatan, juga bagi hidup kita sendiri.
Barangsiapa mengaku tidak layak disebut anak Allah, akan mengetahui bahwa Allah memberi tempat juga kepada kita di antara anak-anak- Nya. Di samping berjuta-juta anak Allah, kita pun boleh menemukan tempat di dalam keseluruhan itu.
5. Hubungan antara pokok Hukum Taurat dan penerapan khusus Hukum Taurat di dalam lapangan hidup tertentu
Sebagai penutup uraian mengenai Hukum Taurat ini, haruslah dipaparkan soal hubungan antara Hukum Taurat dan perintah-perintah khusus serta penerapannya di dalam berbagai lapangan hidup.
Di dalam Alkitab tidak hanya terdapat Hukum Taurat, tetapi terdapat juga banyak perintah yang konkret pada Kesepuluh Titah Tuhan, pada Khotbah di Bukit, pada surat-surat kiriman rasul-rasul.
Di dalam kenyataan hidup, di semua lapangan hidup, kita berhubungan dengan banyak masalah kesusilaan yang serba sulit dan dengan keadaan-keadaan yang tidak terhitung banyaknya, di mana kita bertanya: Apakah yang dikehendaki Allah dari kita di dalam keadaan ini? Apakah yang disuruhkan-Nya, sekarang dan di sini? Hubungan apakah yang terdapat antara perintah kasih yang dwi-tunggal dengan perintah-perintah lainnya itu? Adakah perintah kasih yang dwi- tunggal itu terpisah dari perintah yang khusus?
Jika kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini menurut Alkitab, maka hanya ada satu jawaban. Perintah yang khusus itu merupakan uraian, gambaran pengenaan, dan penyataan dari perintah kasih yang dwi- tunggal tersebut.
Sebagaimana di dalam suatu lagu, kadang-kadang hanya satu lagu pokok (tema) yang disusun dalam berbagai cara, demikianlah Allah menyusun perintah dwi-tunggal itu di dalam bennacam-macam bentuk, tetapi pokoknya di manapun juga adalah tetap sama. Kasih itu tetap menjadi penggenapan Hukum Taurat. Di manapun juga! Di dalam setiap keadaan dan di semua lapangan hidup.
Hal ini terutama di bagian khusus Etika, tidak boleh dilupakan sama sekali. Nanti kita akan membicarakan tentang Etika sosial, ekonomi, politik, kebudayaan. Dan di situ ada bahaya besar, yaitu berbuat seolah-olah di lapangan-lapangan khusus itu kita hanya berhubungan dengan hukum dan suruhan-suruhan yang lain.
Sesungguhnya tidaklah demikian! Tiap-tiap masalah di dalam Etika; soal kelamin misalnya, haruslah dikembalikan kepada soal: Apakah yang dituntut oleh kasih kepada sesama manusia itu dari kita? Tiap- tiap masalah di dalam Etika politik haruslah dikembalikan kepada pertanyaan: Apakah yang dituntut oleh kasih kepada sesama manusia itu dari kita? Etika kebudayaan penuh dengan masalah yang serba sulit. Tetapi masalah-masalah yang tersulit pun haruslah dihadapkan kepada terang perintah: kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia.
Sebagaimana jari-jari roda berputar pada satu sumbu, demikianlah pula perintah-perintah adalah bagaikan jari-jari yang berputar pada satu pusat, yaitu perintah pusat. Sebagaimana tiap titik pada lingkaran mempunyai hubungan yang tetap dengan titik pusat, demikianlah pula semua perintah khusus mempunyai hubungan yang tetap dengan pusat perintah Allah. Segala yang dituntut oleh Allah di dalam hukum-Nya, bergantung kepada Hukum Taurat.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA