Berpikir Tentang Allah Secara Rohani
Kita harus terus-menerus memusatkan pikiran kita kepada Allah karena Dialah sumber segala sesuatu dan perancang segala peristiwa (Roma 11:36). Segala kebaikan hanya berasal dari Dia. Jadi, jelas bahwa kita harus lebih memikirkan diri Allah sendiri daripada sekadar memikirkan berkat-berkat-Nya.
Ada sebagian orang yang menyangkali keberadaan Allah (Mazmur 14:1). Dan, anehnya, ada lebih banyak orang ateis di tempat yang mengenal kekristenan daripada di tempat-tempat lainnya. (Di tempat-tempat di mana kekristenan menjadi minoritas selalu terdapat banyak agama lain). Ada 3 hal yang mungkin dapat menjelaskan keadaan ini: yaitu pertama, ketika manusia dengan sengaja menolak wahyu yang diberikan oleh Allah sendiri (baik melalui karya ciptaan-Nya, hati nurani mereka, maupun Kitab Suci), maka mereka akan dibiarkan mengeraskan hati dalam ketidakpercayaan mereka tersebut. Kedua, mereka yang menolak cahaya kebenaran akan dibiarkan binasa tanpa kebenaran. Dan, yang ketiga, ketika manusia telah ditentukan untuk tidak melihat cahaya itu, maka semakin kuat cahaya tersebut bersinar, semakin erat pula mereka akan menutup mata!
Sebagian dari mereka mengakui keberadaan Allah, tetapi jarang memikirkan-Nya. Kehidupan mereka tidak dipengaruhi oleh pengetahuan mereka tentang Allah (Titus 1:16).
Sebagian lainnya sedemikian disibukkan oleh hal-hal duniawi sehingga tidak mungkin lagi untuk berpikir tentang Allah sebagaimana seharusnya. (Saya tidak sedang membicarakan mereka yang berbuat dosa secara terbuka, melainkan mereka yang berpura-pura rohani.)
Bagi sebagian orang, kegagalan mereka untuk berpikir tentang Allah bersumber dari kesibukan mereka dalam memuaskan hawa nafsu mereka sendiri (Filipi 3:19). Kita hendaknya menyadari bahwa orang percaya sejati pun dapat menjadi ceroboh dalam hal-hal tertentu dan karenanya dapat kehilangan pola pikir rohani mereka. Tetapi bila kemudian mereka merasa khawatir dan meratapinya, maka berarti itu hanya merupakan masalah kemunduran rohani dan bukan suatu bentuk kemurtadan. Tergoda oleh hal-hal duniawi bukanlah suatu bukti kemurtadan seseorang. Bahkan, kejatuhan di dalam dosa pun tidak dapat dijadikan bukti, apabila diikuti oleh suatu pertobatan dan kembalinya orang tersebut ke jalan yang benar. Sebaliknya, suatu penolakan untuk berpikir tentang Allah dengan sengajalah yang lebih menjadi petunjuk bagi adanya hakikat kemurtadan dalam diri seseorang. Penolakan ini sering kali timbul dari suatu kenyataan bahwa orang-orang tersebut telah sedemikian dikuasai oleh hawa nafsu mereka sehingga kehilangan keberanian untuk berpikir tentang Allah yang kudus. Mereka sadar bahwa pemikiran tersebut secara otomatis akan menyatakan mereka bersalah.
Ada dua tanda keberadaan suatu pola pikir tentang Allah secara rohani. Yang pertama adalah sukacita dalam memikirkan keberadaan Allah. Orang yang saleh akan suka memikirkan kebaikan, kekudusan, kuasa, hikmat, dan kemurahan Allah. Pemikiran semacam ini akan menyegarkan jiwa mereka dalam keadaan apa pun. Sebaliknya, mereka yang tidak saleh hanya akan bersukacita bilamana Allah memberkati mereka! Adanya kemampuan untuk menyatakan meskipun dalam keadaan susah dan sulit, bahwa "sesungguhnya inilah Allah, Allah kitalah Dia seterusnya dan untuk selamanya! Dialah yang memimpin kita!" (Mazmur 48:15), akan menjadi bukti dari keberadaan suatu pola pikir rohani serta kehidupan yang saleh. Akan tiba saat di mana Allah menyatakan diri-Nya melalui kemuliaan kedatangan Kristus. Mereka yang bersukacita di dalam Allah sebagaimana Ia ada sekarang akan menantikan kedatangan hari itu dengan penuh kerinduan. Sebaliknya, mereka yang tidak saleh tak akan pernah dapat menikmati sukacita oleh pengharapan semacam itu.
Ciri kedua dari keberadaan suatu pola pikir rohani adalah adanya perasaan gentar dan hormat akan Allah karena kekudusan dan kuasa Allah yang tak terbatas hanya layak bagi penghormatan kita yang tertinggi. Hanya mereka yang berpola pikir rohani yang dapat menggabungkan kedua hal tersebut. Orang-orang yang tidak saleh tidak akan dapat bersukacita atas apa yang membuat mereka merasa gentar, ataupun merasa gentar oleh sesuatu yang membuat mereka bersukacita. Tetapi mereka yang berpola pikir rohani, melalui kecintaan akan kekudusan dalam diri mereka, dapat bersukacita sekaligus memuji kemuliaan kekudusan Allah yang tak terbatas itu. Setiap pemikiran tentang Allah yang tidak membuat kita semakin gentar kepada-Nya, sangat mungkin bukan merupakan bukti dari suatu pola pikir rohani.
Kegentaran mungkin merupakan hal terpenting dari semua kewajiban iman orang percaya. Itu merupakan jiwa bagi keberadaan iman sejati. Itu juga merupakan awal hikmat, dan tanpa itu semua kewajiban lain menjadi tidak bernilai lagi.
Diambil dari: | ||
---|---|---|
Judul Buku | : | Berpola Pikir Rohani |
Judul Artikel | : | Berpikir tentang Allah secara Rohani |
Penulis | : | John Owen |
Penerbit | : | Momentum, Surabaya 2001 |
Halaman | : | 51 -- 54 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA