Jemaat-Jemaat Bukan Yahudi yang Pertama
Sebagai hasil dari kunjungan-kunjungan Paulus, baik "orang-orang yang takut kepada Allah" maupun orang-orang yang kafir sama sekali, menjadi percaya kepada Yesus Kristus. Paulus mulai menyadari betapa penting panggilannya itu. Pengalamannya pada waktu ini juga meyakinkannya bahwa orang-orang bukan-Yahudi yang percaya harus diterima dalam persekutuan Kristen tanpa kewajiban disunat dan memelihara peraturan- peraturan lain dari hukum Taurat. Paulus menyadari setelah pertobatannya, hubungannya yang baru dengan Yesus Kristus juga mengakibatkan suatu hubungan yang baru dengan orang-orang lain termasuk dengan orang-orang yang dibencinya dahulu. Jadi sekarang dia menginsyafi bahwa walaupun dahulu dia tergolong orang Yahudi yang ketat, dia dipersatukan dengan orang-orang bukan-Yahudi dengan cara yang baru dan lebih mendalam, begitu mereka menerima tuntutan Yesus Kristus atas hidup mereka. Setelah pengalamannya di jalan menuju Damsyik, hal itulah yang memang sudah diperkirakan terjadi atas Paulus. Telah diterangkan kepadanya waktu itu bahwa dia akan memainkan peranan yang sangat khusus dalam usaha penyebaran berita Kristen ke seluruh dunia. Ketika Paulus dan Barnabas kembali ke Antiokhia di Siria, mereka menemukan jemaat di sana setuju dengan mereka tentang pokok tersebut, dan menyambut keberhasilan mereka menginjili orang-orang di Asia Kecil bagian selatan (Kisah Para Rasul 14:27-28).
Orang Yahudi dan Bukan Yahudi
Namun, keadaan bahagia itu tidak berlangsung lama. Beberapa pembawa berita dari jemaat di Yerusalem segera tiba di Antiokhia dengan sikap yang sangat berlainan. Yang lebih buruk lagi, mereka juga mengunjungi jemaat-jemaat Kristen baru yang dibangun oleh Paulus dan Barnabas dalam perjalanan misionernya yang pertama (Galatia 2:11-14). Mereka mulai mengacaukan jemaat-jemaat itu dengan mengatakan Paulus hanya memberitakan setengah berita Kristen kepada mereka. Menurut Paulus, jika orang-orang bukan-Yahudi bersedia menerima tuntutan-tuntutan Kristus atas hidup mereka, mereka akan diberikan kuasa oleh Roh Kudus yang bekerja dalam diri mereka, sehingga mereka dapat menjalankan hidup yang menyenangkan hati Allah. Bagi banyak orang Kristen Yahudi, ide tersebut adalah hujatan. Mereka percaya Allah telah menyatakan kehendak-Nya dalam Perjanjian Lama, di mana diajarkan dengan jelas jika seseorang ingin menjadi anggota persekutuan ilahi, dia harus disunat dan mengikuti banyak peraturan lainnya. Bagaimana Paulus dapat mengatakan bahwa orang-orang bukan Yahudi ini sudah menjadi Kristen yang benar kalau mereka belum pernah mempertimbangkan implikasi sepenuhnya dari wahyu Allah dalam Perjanjian Lama? Bagaimana mungkin Paulus berani berkata bahwa moralitas Kristen dapat dicapai dengan cara yang lain daripada penerapan peraturan-peraturan Yahudi secara ketat dalam kehidupan orang Kristen?
Orang-orang Kristen baru itu menjadi bingung dengan ajaran seperti itu. Yang mereka pahami ialah mereka telah menerima berita yang disampaikan Paulus; hidup mereka telah diubah sama sekali oleh Tuhan yang sama yang menjumpai Paulus di jalan ke Damsyik, dan mereka harus percaya kepada Tuhan itu yang akan membantu mereka menjalankan hidup yang menyenangkan Allah. Banyak di antara mereka tidak pernah menjadi penganut agama Yahudi, dan tidak tahu isi Perjanjian Lama. Dan Paulus tidak memberikan petunjuk kepada mereka untuk mempelajarinya agar dapat diterima Allah.
Namun, ketika orang-orang Kristen baru ini mulai membaca Perjanjian Lama di bawah bimbingan orang-orang Kristen Yahudi, mereka menemukan begitu banyak peraturan yang tidak mungkin dapat dipenuhi, walaupun itu dianggap perlu untuk memperoleh keselamatan. Beberapa dari mereka mencoba melakukannya, mulai dengan memelihara hari Sabat Yahudi dan mungkin juga beberapa hari raya Yahudi lainnya (Galatia 4:8-11). Sejumlah besar di antara mereka mulai mempertimbangkan sunat, agar memenuhi ketentuan Perjanjian Lama (Galatia 5:2-12). Namun, bagian terbesar dari mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Pada saat itulah berita tersebut didengar oleh Paulus. Dia sangat marah. Tidak mungkin dia langsung mengunjungi jemaat-jemaat tersebut pada waktu itu, jadi dia memutuskan untuk menulis surat kepada mereka. Surat itulah yang kita kenal sebagai Surat Galatia.
Diambil dari: | ||
Judul buku | : | Memahami Perjanjian Baru |
Pengarang | : | John Drane |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996 |
Halaman | : | 318 - 319 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA