Mazmur 13
Mazmur 13:1-6
http://alkitab.mobi/tb/passage/mazmur+13%3A1-6
Mazmur ini dimulai dengan satu pertanyaan, pertanyaan yang ditujukan kepada Allah. Meski demikian, dalam pertanyaan ini kita menyaksikan iman pemazmur yang lahir dari pengenalannya akan Tuhan -- Berapa lama lagi, Tuhan (How long, O Lord)? Pertanyaan ini tidak diajukan kepada kevakuman, kekosongan, atau kepada langit dan bintang-bintang, melainkan kepada Tuhan yang hidup.
Pertanyaan pemazmur didominasi dengan kata tanya "Berapa lama ...." Meskipun ini muncul juga pada bagian Kitab Suci yang lain, Mazmur 13 begitu khusus karena mencatat pertanyaan ini hingga empat kali. Jika pada pasal-pasal sebelumnya pemazmur bergumul menghadapi lenyapnya orang benar (pasal 12), menghadapi lenyapnya tempat sehingga terancam harus melarikan diri (pasal 11), menghadapi "lenyapnya" Allah (pasal 10), dan seterusnya. Maka, di sini kita membaca bahwa Daud sedang bergumul dengan waktu. Bukankah manusia memang diciptakan dalam keterbatasan ruang dan waktu? Manusia tidak sanggup untuk hadir di segala tempat, demikian juga ia tidak mampu untuk keluar dari proses yang terjadi di dalam waktu. Proses itu harus dilaluinya, entah menyenangkan atau tidak.
Ketika sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada kita, proses waktu cenderung menjadi lebih panjang dan lebih lama. Sebaliknya, ketika sesuatu yang membahagiakan terjadi, waktu menyatakan dirinya terlalu singkat. Ini semacam relativitas waktu. Demikianlah Einstein menjelaskan dengan ilustrasi yang sederhana tentang teorinya. Ketika kita duduk di samping seorang wanita cantik yang kita kagumi [dengan asumsi dia tidak terlalu cerewet], waktu yang kita lalui terasa sangat pendek. Sebaliknya, ketika kita duduk di atas tungku perapian yang menyala-nyala [dengan asumsi kita tidak langsung gosong], waktu yang singkat pun akan terasa sangat lama.
Namun, konsep ini sebenarnya sudah dibicarakan oleh Alkitab, jauh sebelum Einstein masih bayi. Itulah juga gambaran yang dapat kita katakan tentang kekekalan. Kekekalan juga dapat dimengerti sebagai semacam relativitas waktu. Khotbah yang diberitakan oleh seorang yang dipenuhi Roh Kudus akan membawa pendengarnya berkaitan dengan kekekalan, dan sekalipun khotbah itu panjang, akan terjadi relativitas waktu, di saat seperti itu kita sedang mencicipi surga (a foretaste of heaven). Sebaliknya, saat pertengkaran dan kebencian terjadi, waktu seperti sedang mengulur-ulur dirinya, itu juga merupakan cicipan kekekalan, tetapi kekekalan yang di bawah (a foretaste of hell).
Dan sekarang, pemazmur harus belajar untuk beriman dalam kondisi 'foretaste of hell" ini. Pemazmur adalah seorang pilihan Tuhan yang hendak dipakai-Nya untuk mendemonstrasikan anugerah iman yang sanggup melewati lembah bayang-bayang maut! Bukankah mudah untuk memuji serta memuliakan Tuhan pada saat-saat bahagia? Namun, manusia cenderung melupakan Tuhan pada saat-saat itu. Bukankah saat-saat penderitaan seharusnya membuat manusia berharap dan bergantung pada Tuhan? Namun, manusia cenderung mempertanyakan keadilan Tuhan pada saat-saat itu. Tidak demikian halnya dengan Daud. Di saat suka maupun duka, kelegaan ataupun kesesakan, kemenangan atau pengejaran, dia belajar untuk menempatkan dirinya di hadapan Allah. A man after God's own heart -- seorang yang berkenan di hati Allah.
Iman yang terus dimurnikan dan disempurnakan oleh Tuhan adalah iman yang sanggup membawa pergumulan pada ayat pertama menuju proklamasi kemenangan iman yang dicatat pada ayat terakhir. Namun, sebelumnya, kita akan merenungkan sejenak pergumulan pemazmur lebih jauh. Penderitaan yang tidak berkesudahan dialami oleh Daud dalam masa pembentukannya, itulah yang menyebabkan dia mengekspresikan pertanyaan "Berapa lama ...." Bahkan, lamanya waktu itu menggoda dia untuk menarik kesimpulan bahwa itu akan terjadi selamanya (NIV: "forever"; LAI: "terus-menerus"). Penderitaan sesaat mungkin tidak akan menghancurkan seseorang, tetapi penderitaan yang berkepanjangan sungguh merupakan suatu ujian yang berat karena intensitas waktu sanggup mendekatkan orang kepada perasaan kekekalan (forever). Bukan hanya demikian, pemazmur juga tidak dapat melihat wajah Allah di saat-saat seperti itu, seolah-olah Tuhan menyembunyikan wajah-Nya. Inilah ujian iman yang paling berat, tetap beriman dan percaya sekalipun awan gelap seperti menutupi wajah Tuhan. Di sini, Daud harus belajar untuk tetap memandang dan melihat kepada Allah sekalipun Allah "sedang tersembunyi".
Ayat kedua mengatakan bahwa Daud bergumul dengan kekhawatirannya (dalam salah satu terjemahan Inggris: wrestle with my thoughts). Bagaimanakah kita mendefinisikan kekhawatiran? Kekhawatiran adalah pikiran yang hadir dalam benak kita sebelum kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Celakanya, pikiran itu menampakkan diri seolah ia adalah kenyataan yang sesungguhnya. Kekhawatiran sering kali menyempitkan kelimpahan hidup kita karena di situ kita sudah menempatkan diri ke dalam apa yang belum terjadi, "present being reducted by the future" -- masa kini disempitkan oleh [kekhawatiran] masa depan (bandingkan dengan perkataan Tuhan Yesus, "Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari" [Matius 6:34]). Itulah yang menjadi kesedihan hatinya sepanjang hari. Daud juga harus belajar bersabar menghadapi musuh yang meninggikan diri atasnya. Alangkah sulitnya menyaksikan kesuksesan orang yang tidak kita sukai. Sangat diperlukan kerendahan hati yang luar biasa untuk menanggungnya.
Pada bagian berikutnya (bagian dua), Daud memohon kepada Tuhan agar Dia memandang Daud. Seolah-olah, Daud hendak meminta agar Tuhan keluar dari persembunyian-Nya, dan mengarahkan wajah serta mata-Nya kepada Daud. Permohonan ini kemudian disambung dengan "Buatlah mataku bercahaya" (NIV: "give light to my eyes"). Ini berarti Daud berdoa agar matanya sanggup untuk melihat mata Tuhan yang memandang kepadanya. Karena Tuhan memandang kita, kita sanggup memandang Dia. Agama banyak mengajarkan tentang bagaimana manusia memandang dan melihat Tuhan, tetapi pengenalan akan Allah yang sejati dimulai dari Allah yang memandang kepada manusia. Mata Tuhan yang melihat dan mencari orang yang berdosa adalah jalan menuju keselamatan yang sejati ketika mata kita diterangi oleh cahaya kemuliaan-Nya.
Ayat 6 menyatakan kemenangan yang diperoleh pemazmur dalam pergumulannya. Ia berharap kepada kasih setia Tuhan (unfailing love, constant love), cinta kasih-Nya yang tidak pernah berubah. Inilah dinamika pergumulan orang yang beriman kepada Tuhan, ia tidak melarikan diri dari realitas kesulitan dan penderitaan yang dihadapi. Dan, di tengah-tengah perubahan yang terus-menerus itu, ia berharap kepada Allah yang tidak berubah dalam cinta kasih-Nya. Kadang, kita menjumpai orang-orang yang menipu diri sendiri, yang meskipun sakit, mengatakan bahwa ia sehat dan tidak sakit, seolah-olah penyakitnya adalah realitas semu, yang tidak sungguh-sungguh terjadi.
Ini berarti ketidakberubahan Allah dianggap sebagai dasar ketidakberubahan manusia, dan ini adalah pengertian iman yang salah. Di sisi lain, ada orang-orang yang mengajarkan bahwa Allah pun sebenarnya ikut bergumul di dalam waktu, Allah ditarik ke bumi untuk menuju ke-sini-an dan kekinian, Allah dilucuti dari transendensi-Nya, dari kedaulatan dan rencana-Nya yang kekal. Di sini, manusia seolah hendak menolong dan menyelamatkan Allah dari kesulitan pergumulan hidup manusia dalam menghadapi realitas kejahatan dan penderitaan. Sedangkan, pemazmur mengekspresikan penderitaan yang dialaminya dan berharap kepada Allah yang tidak berubah dalam cinta kasih-Nya.
Ayat terakhir ini mengakhiri pergumulan pemazmur dan membawanya kepada sikap hati yang bersorak-sorak (rejoice) dan menyanyi. Alasannya adalah karena Tuhan telah berbuat balk kepadanya. Daud adalah orang yang peka dan mengingat anugerah serta pertolongan Tuhan pada masa yang telah lalu, inilah yang memberikan kekuatan dan keyakinan di dalam dirinya untuk tetap memuji Tuhan. Jika tadi kita mengatakan bahwa masa kini (present) dapat disempitkan oleh pikiran terhadap masa depan (future), khususnya kekhawatiran, di sini kita mendapati bahwa present dapat disempitkan juga oleh lupa akan masa lalu (past), khususnya lupa akan anugerah dan kebaikan Tuhan. Maka nyanyian dan pujian yang sejati kepada Tuhan dikaitkan dengan mengingat (remembering).
Terakhir, jika kita mengiyakan pertanyaan pemazmur "Berapa lama ...." dengan pertanyaan yang sama, yang diserukan oleh jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh oleh karena firman Allah dan karena kesaksian mereka, sebagaimana tercatat dalam Wahyu (6:10), kita dapat mengerti pertanyaan ini dalam konteks eskatologi (akhir zaman). Pada akhir kitab Wahyu, Tuhan Yesus mengatakan bahwa Dia akan datang segera. "Berapa lama" dijawab dengan "segera". Apakah ini sebuah kesalahan janji Tuhan karena sudah lewat dua milenium, tetapi Dia tidak kunjung datang juga sehingga ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian? (2 Petrus 3:9) Ataukah Tuhan hendak mengajarkan sesuatu yang lain bagi kita? Karena itu, orang Kristen harus belajar mengerti bahwa masa hidupnya adalah waktu yang sangat singkat, berapa pun umur kita! Di situlah, kita berpindah dari pertanyaan "Berapa lama" menuju kepada pengertian "quality time" (waktu yang berkualitas) karena Tuhan Yesus akan datang segera. Inilah yang disebut kesadaran eskatologis, kesadaran yang membawa kita ke dalam hidup yang lebih bijaksana di dalam Tuhan karena kita adalah orang-orang yang memiliki kepekaan akan waktu yang sangat singkat.
Kiranya Tuhan di dalam Kristus memberikan berkat rohani yang besar kepada hidup kita!
Diambil dari:
Judul buku | : | Ajarlah Kami Bergumul |
Penulis | : | Billy Kristanto |
Penerbit | : | Momentum, Surabaya 2010 |
Halaman | : | 33 -- 39 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA