Pendahuluan
Sebuah buku mengenai Perjanjian Lama, sekarang ini tidak akan menjadi buku yang laris. Bahkan di antara mereka yang berhasrat besar mempelajari Alkitab dan terus-menerus menjadikannya buku terlaris sepanjang zaman, konferensi-konferensi tentang Perjanjian Lama tidak akan menarik perhatian. Sebabnya sederhana saja. Sering kali, orang-orang Kristen memberikan waktu terbanyak untuk mempelajari Perjanjian Baru, dan hanya sekali-sekali menyelidiki kitab Mazmur dan Amsal, atau kadang-kadang ditambah dengan kitab nabi-nabi. Akibatnya ialah bahwa banyak orang Kristen gagal untuk memahami keseluruhan wawasan pengungkapan Allah tentang diri-Nya sendiri -- gambaran mereka tentang maksud-maksud Allah tidak sempurna. Bahkan Perjanjian Lama tidak diterjemahkan ke dalam semua bahasa di dunia. Tentu saja dapat dipahami, mengapa Perjanjian Baru merupakan bagian pertama yang diterjemahkan kalau dana yang tersedia terbatas, tetapi kalau para misionaris dan pendeta mendasarkan seluruh pengajaran mereka pada Perjanjian Baru saja maka mereka tidak akan dapat mengajarkan firman Allah seutuhnya. Hal ini sangat penting dalam situasi-situasi penginjilan, di mana sering kali terdapat jembatan alamiah di antara Perjanjian Lama dengan kebanyakan orang, terutama yang berasal dari kebudayaan bukan Barat. Ajaran Perjanjian Lama berlatarkan rumah tangga dan pasar, kasih setia Allah disampaikan dalam bentuk konkret. Jelaslah sudah bahwa Perjanjian Baru tidak dapat berdiri sendiri.
Tidaklah sulit untuk mendaftarkan contoh-contoh keadaan ini dalam kepustakaan misionaris. Di Cina, misalnya, para misionaris zaman dahulu sering kali hanya memakai Perjanjian Baru dalam khotbah-khotbah mereka. Ketika membahas kelemahan misi-misi di Cina, Arthur Glasser mencatat:
"Kekurangan yang nyata dalam pergerakan misionaris adalah penggunaan firman Allah yang tidak memadai. Dia hanya menitikberatkan ajarannya pada sebagian dari Alkitab, yaitu Perjanjian Baru dan Mazmur. ... Alkitab tidak hanya berisi mandat pekabaran Injil dari Perjanjian Baru, tetapi juga mengandung panggilan Allah kepada tanggung jawab kebudayaan: suatu alur kewajiban yang mengalir sepanjang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kalau Perjanjian Baru terutama berfokus pada seorang pribadi di hadapan Allah, maka Perjanjian Lama menekankan hubungan yang bersifat umum (keluarga, masyarakat, dan negara). Di Sinai, Allah memberikan kepada umat-Nya suatu gaya hidup yang egalitarian (sederajat) dan manusiawi .... Pendek kata, Perjanjian Lama mengajarkan suatu cara hidup di mana hak-hak setiap orang dilindungi." (New Forces in Missions, ed. David Cho, Seoul 1976, hal. 194-95)
Maksud penulisan buku ini adalah memberikan penerangan tentang Perjanjian Lama bagi orang Kristen. Buku ini pantas disebut sebagai buku teologi Perjanjian Lama, dan penting sekali untuk memahami arti istilah tersebut. Semua teologi yang benar, pastilah lebih kurang bersifat alkitabiah, tetapi teologi alkitabiah (Biblika) ialah mata pelajaran khusus yang berusaha mempelajari pokok-pokok Alkitab berdasarkan warna-warninya sendiri. Berbeda dengan teologia sistematika yang berusaha memahami hubungan timbal balik antara pokok-pokok Alkitab dengan implikasi-implikasi historis dan filosofinya, teologi Biblika mempelajari tema pokok Alkitab menurut perkembangannya selama Allah berurusan dengan manusia dalam periode alkitabiah. Teologi Biblika bersifat historis dan berkesinambungan atau progresif. Teologi Biblika berpusat pada penyingkapan diri Allah Penyelamat, yang terwujud dalam kejadian-kejadian tertentu, di mana Allah memanggil bagi diri-Nya sendiri suatu bangsa yang akan mencerminkan sifat-Nya serta melanjutkan maksud-maksud-Nya yang penuh kasih. Teologi Biblika melihat perkembangan-perkembangan ini dengan latar belakang dunia yang diciptakan Allah sebagai wahana bagi maksud tujuan serta nilai-nilai-Nya. Akhirnya, teologi Biblika melihat bagaimana Allah menolak meninggalkan maksud tujuan-Nya, sekalipun umat-Nya tidak setia sehingga Allah bekerja terus untuk menciptakan umat yang lebih sempurna dan utuh sebagai umat kepunyaan-Nya sendiri.
Jika kita dapat senantiasa mengingat pemikiran ini dan membaca Perjanjian Baru (dan sebenarnya juga keseluruhan sejarah) dari sudut pemikiran tersebut, kita telah mengambil langkah awal yang penting dalam berpikir secara teologis - dan dengan agak nekad dengan cara Allah sendiri memandang dunia ini. Yang pasti ialah bahwa pokok-pokok pikiran ini diungkapkan secara khusus dalam Perjanjian Lama.
Hal ini bukan berarti tidak mengakui adanya perbedaan di antara keduanya. Maksud-maksud Allah terlihat lebih nyata dalam Perjanjian Baru. Perjanjian ini telah dimeteraikan sekali untuk selamanya dengan kematian Kristus, dan bukan lagi berkali-kali seperti hanya dalam upacara kurban Perjanjian Lama. Perjanjian Lama lebih berurusan dengan bangsa Israel sedangkan Perjanjian Baru menaruh perhatian yang lebih besar kepada seluruh dunia. Akan tetapi, kesamaan di antara kedua perjanjian itu lebih penting daripada perbedaannya. Kedua perjanjian secara serempak mencatat sejarah tindakan-tindakan Allah terhadap umat manusia secara tahap demi tahap. Pekerjaan Kristus lebih merupakan puncak daripada sanggahan atas kebenaran Perjanjian Lama. Meskipun Perjanjian Baru menyajikan sesuatu yang baru, sebenarnya itu bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Ada kesinambungan penting yang menghubungkan kedua perjanjian tersebut, baik dalam cara maupun hakikat dari ungkapan Allah dan dalam cara manusia menanggapi ungkapan tsb.. Seperti dikatakan Yohanes Calvin, "Saya mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam Alkitab ... tetapi sedemikian rupa sehingga tidak mengurangi keutuhannya yang telah ditetapkan .... Semua ini berkenaan dengan cara penyalurannya dan bukan isi pokok." (Institusio II, II, I).
Pendekatan pada studi Alkitab yang telah terbukti berhasil dalam menggambarkan kesatuan yang menyeluruh ini ialah tipologi atau ajaran tentang lambang-lambang, suatu studi persesuaian di antara unsur-unsur tertentu dari kedua perjanjian. Meski cara ini sering kali menjadi bahan olok-olok dan mengakibatkan penafsiran yang berlebihan terhadap hal-hal kecil, tetapi kalau dapat dipahami dengan benar maka pendekatan ini akan menolong dalam menggarisbawahi perkembangan dari ungkapan Allah yang konsisten dan historis. Suatu tipe atau lambang adalah "suatu peristiwa, seorang tokoh, atau suatu lembaga dalam Alkitab yang berlaku sebagai contoh atau pola untuk peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh atau lembaga-lembaga lainnya", dan didasarkan pada konsistensi sifat dan aktivitas Allah (Baker 1977, 267). Artinya, peristiwa atau objek dalam Perjanjian Lama meskipun tetap memiliki makna yang utuh dalam keseluruhan konteks Alkitab, tetapi artinya diperluas melalui tampilnya padanan (dan penggenapan) dalam Perjanjian Baru, yang boleh kita sebut sebagai konteks Perjanjian Baru. Jalan pemikiran ini melatarbelakangi banyak diskusi dalam buku ini, apabila saya mengacu kepada Perjanjian baru.
Salah satu cara menerangkan hubungan di antara kedua perjanjian itu adalah menyamakannya dengan sebuah simfoni. Semua tema dasar simfoni, tersebut telah disajikan dalam Perjanjian Lama dan dapat dilihat serta dinikmati berdasarkan syarat-syaratnya sendiri. Realitas ungkapan diri Allah dalam ciptaan dan penebusan dinyatakan lewat pokok ini. Tampak bagaimana Allah bergerak menuju manusia dan suatu persekutuan nyata ada di antara keduanya - bukan hanya janji belaka. Perjanjian Baru kemudian mengambil pokok ini, mengembangkannya, dan sambil menambahkan baris-baris melodinya sendiri, mengubah nadanya menjadi lebih tinggi, merangkai semuanya dengan aneka cara yang sangat indah dan kaya. Apa yang terlihat sebagai baris lagu yang sederhana dalam Perjanjian Lama - misalnya keputusasaan dan pemeliharaan saat pengembaraan di padang gurun - diambil dan diletakkan dalam latar lain dan dibuat untuk memperindah ungkapan Perjanjian Baru - seperti terdapat dalam peringatan dan nasihat yang membesarkan hati dari Rasul Paulus kepada gereja di Korintus (1 Korintus 10). Jika kita tidak sungguh-sungguh mendengarkan Perjanjian Lama, kita akan kehilangan lagu-lagu yang paling mengharukan dalam Perjanjian Baru. Jadi, daripada menganggap Perjanjian Lama sebagai sesuatu yang bersifat sementara atau bagian yang tidak penting - sesuatu yang sudah tidak cocok dan harus dibuang - lebih baik kita melihat ketidaksempurnaannya sebagai paduan nada yang memerlukan ketegasan, atau dengan kiasan lainnya, sebagai suatu alur cerita yang memerlukan kesimpulan. Karenanya, apa yang kita peroleh dari Perjanjian Baru, bukanlah menyepelekan Perjanjian Lama, melainkan menampakkan keberadaannya yang terdalam. Orang dapat merasakan bahwa semakin dalam, dia menyelami keberadaan Perjanjian Lama, makin dekatlah dia kepada kebenaran Perjanjian Baru. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru saling membutuhkan untuk pengungkapan secara penuh. Untuk suatu diskusi yang lebih lengkap mengenai hubungan di antara kedua perjanjian itu lihatlah buku Two Testaments: One Bible, karangan D.L. Baker yang tercantum dalam daftar pustaka.
Semua ini dapat menolong kita menjawab pertanyaan yang belum terjawab: Apakah unsur sentral Perjanjian Lama? Kita dapat menjawab pertanyaan ini dengan sebuah pertanyaan lain: Di manakah titik sentral sebuah simfoni atau sandiwara? Tentu saja ada pokok-pokok sentral, tetapi tidak ada satupun titik yang dapat dianggap sebagai pusatnya, kecuali kalau itu adalah kesatuan dari suatu keseluruhan. Jadi, tema-tema atau pokok-pokok yang akan kita bahas semuanya saling melengkapi dan bersangkut-paut. Sifat dasar Allah sendirilah yang membawa-Nya kepada suatu hubungan dengan manusia (laki-laki dan perempuan) dalam ikatan Perjanjian; hukum Taurat mengisi Perjanjian tersebut; ibadah resmi dan kesalehan tumbuh bersama-sama dari hubungan perjanjian yang ditentukan dalam Taurat; semuanya dinyatakan dalam kehidupan moral masyarakat (etika dan hikmat), yang menuju kepada para nabi, kepada suatu visi perjanjian terakhir yang akan dimeteraikan oleh Kristus dengan kematian-Nya. Barangkali kesatuan dari keseluruhan itu paling tepat dinyatakan sebagai penyingkapan diri Allah yang kreatif-menyelamatkan, atau dengan lebih sederhana, merendahkan diri-Nya sebagai seorang Bapa bagi umat-Nya.
Saya memilih untuk membahas semuanya secara pokok demi pokok. Hal ini menimbulkan risiko salah pengertian. Segala bentuk pengotakan materi memang agak sewenang-wenang dan dapat terlihat sebagai pemisahan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Jadi, harus diingat bahwa pandangan-pandangan dan lembaga-lembaga yang dibahas dalam pasal-pasal tersendiri sebenarnya saling berhubungan dan mengalami perkembangan historis dalam kehidupan bangsa Israel. Penyingkapan Allah memiliki sifat progresif dan kumulatif. Inilah yang menyebabkan beberapa sarjana (seperti Gerhard von Rad) lebih menyenangi pendekatan historis terhadap Perjanjian Lama. Akan tetapi, jika selalu ingat akan sifat historis dari suatu penyingkapan, maka metode pokok demi pokok ini akan membantu kita dalam memahami kesatuan rencana Allah. Secara insidental, latar belakang sejasrah ada baiknya diperhatikan dengan mengacu kepada buku-buku sejarah Perjanjian Lama yang telah baku, seperti misalnya karangan John Bright atau Leon Wood yang tercantum dalam daftar pustaka.
Diambil dari: | ||
Judul Buku | : | Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama |
Judul Bagian | : | Pendahuluan |
Penulis | : | William Dyrness |
Penerbit | : | Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1979 |
Halaman | : | 3 - 7 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA