Studi Khusus 21: Strategi Paulus dalam Pekabaran Injil
Mungkin Pauluslah misionaris Kristen yang paling berhasil sepanjang zaman. Dalam kurun waktu kurang dari satu generasi, dia mengadakan perjalanan ke seluruh wilayah dunia Laut Tengah, dan mendirikan jemaat-jemaat Kristen yang berkembang serta aktif ke mana pun dia pergi.
Apa rahasianya? Tentunya Paulus sadar bahwa dia hanya seorang pembawa berita, dan kuasa Roh Kudus sematalah yang membawa perubahan dalam kehidupan orang yang ditemuinya. Sewaktu mengingat segala penderitaan yang dialaminya, dia menggambarkan dirinya sebagai "bejana tanah liat", hanya tempat penampung sementara dari kuasa Allah sendiri (2 Korintus 4:7).
Namun, Paulus juga seorang ahli strategi yang ulung. Rutenya tidak pernah sembarangan, dan cara-cara komunikasinya didasarkan atas pengertian yang luas tentang proses orang berpikir dan mengambil keputusan.
Paulus merupakan seorang penginjil penjelajah, tetapi dia sendiri tidak pernah mengunjungi suatu daerah terpencil! Dia dapat saja menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun di dalam melintasi wilayah yang belum dipetakan, atau menempuh jalan-jalan pedesaan menuju daerah-daerah terpencil. Namun, dia tidak melakukan hal-hal itu. Sebaliknya, dia memanfaatkan jalan-jalan raya utama yang dibangun orang-orang Roma di seluruh wilayah kekaisaran mereka. Digabung dengan rute-rute pelayaran utama, jalan-jalan tersebut menghubungkan semua pusat kependudukan utama, dan tempat-tempat seperti itulah yang dikunjungi Paulus. Dia tahu bahwa dia tidak pernah dapat membawa Injil secara pribadi kepada setiap oknum di seluruh kekaisaran. Namun, kalau dia dapat membangun kelompok-kelompok Kristen yang bersemangat di beberapa kota utama, maka mereka pada gilirannya dapat menyebarkan Kabar Baik sampai ke pelosok terpencil. Lagi pula, orang dari daerah pedesaan sering harus mengunjungi kota-kota terdekat, dan mereka pun dapat mendengar Injil, yang nantinya mereka sebarkan kembali ke sanak saudara mereka. Itulah yang terjadi pada hari Pentakosta di Yerusalem, dan Paulus menyadari betapa besarnya potensi strategi ini. Sedikitnya satu jemaat yang kemudian menerima surat Paulus -- yakni Kolose -- telah dimulai seperti ini.
Paulus juga sadar diperlukannya variasi di dalam menyajikan berita Injil. Seorang pengejek pernah menyindir bahwa khotbah adalah "seperangkat jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah diajukan siapa pun". Mungkin beberapa khotbah modern demikian sifatnya, tetapi khotbah-khotbah Paulus bukan demikian. Rahasia keberhasilan Yesus terletak dalam kemampuan-Nya untuk berbicara dengan orang-orang di mana pun mereka berada. Waktu di padang, Yesus berbicara tentang menanam gandum (Markus 4:1-9). Di keluarga, Dia berbicara tentang anak-anak (Matius 19:13-15). Dengan nelayan, pokok pembicaraan-Nya adalah ikan (Markus 1:14-18). Paulus bersikap sama. Dia pergi kepada orang-orang di tempat di mana mereka mau mendengar di sinagoge Yahudi, di pasar-pasar, bahkan di kuil-kuil kafir. Di sinagoge d Tesalonika, dia mulai dengan Perjanjian Lama (Kisah Para Rasul 17:2-3). Di Atena, dia mulai dengan "Allah yang tidak dikenal, yang dicari oleh orang-orang Yunani (Kisah Para Rasul 17:22-31). Di Efesus, dia bersedia terlibat dalam perdebatan di depan umum tentang makna Injil Kristen (Kisah Para Rasul 19:9).
Para pembaca modern surat-surat Paulus mungkin mengira bahwa pemberitaan Paulus dapat diringkaskan menjadi uraian yang abstrak tentang dosa, pembenaran atau penebusan. Namun, bukan demikian cara Paulus berkhotbah. Dia mulai di tempat di mana para pendengarnya berada dan bersedia membicarakan kebutuhan-kebutuhan mereka. Kadang-kadang berkhotbah merupakan cara pendekatan yang salah -- dan Paulus serta rekan-rekannya selalu siap mendampingi orang-orang dan menolong mereka dalam menghadapi kesulitan hidup sehari-hari. Itulah sebagian rahasia keberhasilan di Tesalonika: "Kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya ... bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu" (1 Tesalonika 2:7-8).
Sikap kepedulian terhadap orang serta keluwesan dalam pemberitaan Injil inilah yang kemudian diringkaskan Paulus dalam ucapan: "Aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang .... Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka" (1 Korintus 9:19-22).
Diambil dari: | ||
Judul buku | : | Memahami Perjanjian Baru |
Pengarang | : | John Drane |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996 |
Halaman | : | 344 - 345 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA